1.
Sababun
nuzul tentang talak dalam hukum islam
Diriwayatkan
bahwa orang-orang jahiliyah tidak mempunyai bilangan talak, mereka mentalak
istrinya dengan sesuka hati. jika masa ‘iddah wanita itu sudah hampir habis,
dirujuknya. Di zaman Nabi Muhammad SAW sendiri sudah pernah terjadi seorang
suami yang sengaja hendak mentalak istrinya dengan mengatakan kepada istrinya
itu “aku tidak akan tidur bersamamu tapi aku juga tidak akan membiarkan kamu
lepas”. wanita kemudian bertanya: “apa maksudmu?” Ia menjawab: engkau
kutalak, tetapi kalau ‘iddahmu sudah hampir habis, engkau ku rujuk”. Begitulah,
lalu wanita itu melapor kepada nabi Muhammad saw., maka turunlah ayat QS. Al-Baqaroh
229.
الطَّلَاقُ
مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ
لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا
أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
229. Talak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya[144]. Itulah hukum-hukum allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.
[144]
ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu'
yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Ibnu jarir
meriwayatkan dari ibnu abbas r.a., ia berkata: “pernah terjadi seorang suami
mentalak istrinya, kemudian merujuk sebelum habis ‘iddahnya, kemudian ditalak
lagi. Dia berbuat demikian dengan bermaksud hendak menyusahkan istrinya dengan
menghalang-halangi istri itu begitulah lalu Allah menurunkan ayat 231:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ
هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ
مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
231. Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum allah permainan,
dan ingatlah nikmat allah padamu, dan apa yang telah diturunkan allah kepadamu
yaitu al kitab dan al hikmah (as sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-nya itu. Dan bertakwalah kepada allah serta
ketahuilah bahwasanya allah maha mengetahui segala sesuatu.
[145] umpamanya: memaksa mereka minta cerai dengan
cara khulu' atau membiarkan mereka hidup terkatung-katung.
Imam Bukhori dan
Tirmidzi juga meriwayatkan dari jalan Ma’qil bin Yasar r.a., bahwa dia pernah mengawinkan saudara
perempuannya dengan seorang laki-laki, padahal perempuan itu sebagaimana
layaknya perempuan-perempuan lain. Lalu dia ditalak sekali, dan tidak
dirujukinya hingga ‘iddahnya hampir habis. Dia masih suka kepada istrinya itu
begitu juga istri masih suka kepada sumaminya. Kemudian dia dipinang lagi. Maka
ketika itu ma’qil berkata kepadanya: “kurang ajar sudah ku hormat engkau, dan
kukawinkan saudaraku denganmu, tetapi kemudian engkau cerai dia. Demi allah dia
tidak akan kembali kepadamu untuk selama-lamanya”. Begitulah, oleh karena Allah
mengetahui hajat suami kepada istrinya dan hajat istri kepada suaminya, maka ia
menurunkan ayat 232.
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ
بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ
أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
232. Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada allah dan
hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.
Setelah Ma’qil mendengar
ayat tersebut dari Nabi saw., serentak ia mengatakan: “Sungguh kudengarkan
kalam Tuhanku itu dan kuta’ati”. Lalu laki-laki itu dipanggilnya, seraya
mengatakan kukawinkan engkau dan ku hormati engkau.
2.
Tentang
‘iddah perempuan yang ditalak (biasa), dalam keadaan hamil dan perempuan yang
tidak haidh
Menurut ayat
diatas, bahwa perempuan yang ditalak ini tiga kali quru’. Adapun perempuan
yang dimaksud dalam ayat ini, ialah: yang sudah pernah dicampuri dan dalam
keadaan tidak hamil (baik yang masih haidh ataupun yang sudah tidak haidh). Sebab
perempuan yang belum pernah dicampuri tidak ada ‘iddahnya, sebagaimana firman Allah
yang artinya:…kemudian kamu talak mereka, padahal belum kamu sentuh mereka
itu, maka tidaklah ‘iddahnya atas mereka bagimu…..”(QS. Al-Ahzab 49)
Sedang ‘iddahnya
perempuan yang hamil, ialah sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah: ”dan
perempuan-perempuan yang hamil,’iddahnya ialah melahirkan kandungannya. (QS. ath-Thalaq 6).
Adapun perempuan
yang tidak pernah haidh atau yang memang sudah sudah putus dari haidh, ’iddahnya
tiga bulan, sebagimana firman Allah: ”perempuan-perempuan yang sudah putus dari
haidh dari istri-istrimu, maka ‘iddahnya mereka itu tiga bulan, begitu juga
mereka yang yang tidak pernah haidh”.(QS. ath-Thalaq 4).
Ini semua
sebagai takshisish (pengecualian) dari ayat diatas. Jadi ‘iddah tiga
kali quru’ yang dimaksud dalam ayat diatas ialah: bagi perempuan yang sudah
dicampuri, yang sudah bukan anak-anak, bukan yang sudah putus dari haidh dan
bukan dalam keadaan hamil.
3.
Maksud
kata “quru”
“quru’ “menurut
bahasa mengandung arti: haidh dan suci. tetapi para ulama’ ahli fiqih berbeda
pendapat dalam menetapkan arti yang dimaksud dalam ayat tersebut. disini ada
dua pendapat:
A.
Imam
Malik dan Syafi’i berpendapat, bahwa yang dimaksud quru’ disitu ialah: suci. Pendapat
ini juga yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Aisyah, Zaid bin Tsabit dan juga
salah satu dari dua pendapat imam Ahmad.
B.
Abu
Hanifah dan Ahmad (dalam satu riwayat) mengatakan: bahwa yang dimaksud quru’
disitu ialah: haidh. Dan ini pula yang diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Abu
Musa, Abu Darda’, dll.
Alasan-alasan
1.
Alasan
Imam Malik dan Syafi’i secara singkat:
Pertama:
adanya “ta” dalam kata bilangan “tsalasata quru’“, yang menunjukkan,
bahwa kata quru’ itu berarti mudzakkar. Sedang kata quru’ dalam arti mudzakkar
itu berarti: suci. Seandainya dia itu berarti haidh, niscaya akan berbunyi: tsalasata
qurun. Sebab dengan berarti quru’ itu muannats, karena haidh itu muannats. Padahal
dimuannats-kannya kata tsalasah bersama dengan mudzakkarnya quru’ itu
sudah maklum.
Kedua:
diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:
أتدرون ما الأقراء ؟الأقراء الأطها ر
artinya: ”taukah
kamu, apakah aqra’ itu? Aqra’ ialah: suci.
Imam syafi’i
mengatakan: Perempuan dalam hal ini lebih tahu. Sebab peristiwa itu hanya
terjadi pada diri perempuan.
Ketiga:
Firman Allah yang mengatakan: ”talaklah
mereka itu buat menghadapi ‘iddah mereka”(QS. ath-Thalaq 1), dimana sudah
jelas, bahwa talak diwaktu haidh itu dilarang. Maka yang dimaksud ayat ini, yaitu:
talak mereka dalam keadaan suci. Jadi quru’ yang dimaksud dalam ayat diatas, berarti:
suci.
2.
Alasan
Abu Hanifah dan Ahmad:
Pertama:’iddah
itu ditetapkan gunanya untuk mengetahui kebersihan rahim. Sedang untuk
mengetahui kebersihan rahim, ialah haidh. Imam Ahmad mengatakan: dulu aku
berpendapat, quru’ itu berarti suci. Tetapi kini aku berpendapat quru’ itu
berarti haidh.
Kedua:
sabda Nabi saw. Kepada Fatimah binti Abi
Hubaisy:
دعي الصلاة ايام اقرئك
Artinya: tinggalkan
shalatmu pada hari-hari haidhmu. (hr.daraquthni.)
Ketiga:
sabda Nabi saw. yang mengatakan:
لاتو طئا حا مل حتى تضع ولا حا ئل حتى
تستبراء بحيضة
artinya: ”perempuan
hamil tidak dicampuri hingga ia melahirkan, dan jariyah tidak (boleh
dicampuri), hingga ia haidh satu kali”
Para ulama’
fiqih sudah sepakat, bahwa istibrak untuk hamba sahaya itu satu kali ‘iddah. Begitu
juga halnya ‘iddah ini adalah juga haidh, karena haidh itulah satu-satunya
motif untuk kebersihan rahim.
Keempat:
Allah menetapkan ‘iddah bulan bagi
perempuan yang sudah tidak haidh atau yang memang tidak pernah haidh, sebagai
ganti ‘iddah haidh. (QS. ath-Thalaq 4). Ini jelas menunjukkan bahwa ‘iddah itu
dinilai dengan haidh, bukan dengan suci. Dan inilah dalil yang lebih kuat oleh
golongan Hanafiyah.
Kelima:
kalau ‘iddah itu kita hitung dengan
haidh, maka kemungkinan besar akan terjadi terpenuhinya tiga quru’ itu secara
sempurna. Sebab perempuan yang ditalak itu hanya bisa keluar ‘iddah, dengan
hilangnya haidh yang ketiga itu. Berbeda dengan dihitungnya dengan suci, maka
akan terjadi ‘iddah itu hanya berlaku pada dua kali suci, ditambah dengan
sebagian suci, kalau misalnya perempuan itu ditalak di akhir suci. dan inilah
yang kami pandang paling kuat alasan kami itu.
4.
Talak
tiga dengan sekali ucapan, apakah jatuh satu ataukah jatuh tiga?
Perkataan “talak
itu dua kali” itu menunjukkan, bahwa talak itu harus dijatuhkan secara
berpisah, satu demi satu. Namun para Ulama’ berbeda pendapat tentang talak tiga
dengan sekali ucapan, apakah jatuh satu ataukah jatuh tiga. Ada dua pendapat:
a.
Kebanyakan
para Sahabat, tabi’in dan imam-imam madzhab yang empat berpendapat jatuh tiga,
sekalipun dalam hal ini mereka juga masih berbeda tentang hukumnya, apakah
haram ataukah sekedar makruh.
Dengan
dalil bahwa para sahabat sudah ijma’, ketika Umar memutuskan demikian, lalu
mereka smeua menyetujuinya, tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkari
sahnya talak tiga dengan sekali ucapan itu, dari Umar bin Khathab. Sikap para
Sahabat yang demikian itu menunjukkan ijma’.
Imam
Bukhari juga berpendirian demikian, sehingga dalam kitabnya ia member judul bab
“Orang yang membenarkan talak tiga” terhadap firman allah yang mengatakan
“Talak itu dua kali, maka rujuklah dengan baik atau lepaslah dengan baik pula”.
b.
Sebagian
Ulama’ zhahiri berpendapat, jatuh satu. Yang berpendapat demikian adalah
Thawus, Madzhab Imamiyah (Syi’ah) dan Ibnu Taimiyah, yang selanjutnya penapat
ini diambil oleh sebagian ulama’ mutaakhirin, sebagai usaha untuk tidak menyusahkan
orang banyak dan demi memperkecil perceraian serta menghindari dari perbuatan
tahlil (menghalalkan) yang kelas merusak itu.
Dengan
dalil bahwa Allah membedakan talak ini dengan firman-Nya “Talak itu dua kali”,
yakni dijatuhkan dengan bertahap, satu persatu. Jadi kalau begitu tidak bisa
dijatuhkan sekaligus, seperti halnya li’an yang harus diucapkan dengan
terpisah, sehingga apabila ia mengatakan أشهد بالله أربع شدتيننى
لامن الصادقين (aku bersaksi dengan nama Alah, empat kali persaksian, bahwa
aku dipihak yang benar), maka ucapannya itu tetap dihitung satu.
c.
Pendapat kami (ash-Shabuni): bahwa semua dalil yang dikemukakan pihak kedua
itu tidak kuat, dan tidak dapat melemahkan dalil-dalil jumhur serta ijma’
sahabat. Sdang ijma’ adalah cukup sebagai hujjah dan alasan agama. Kami
berkeyakinan bahwa Jumhur itulah yang benar, karena menyalahi ijma’ sahabat dan
ijma’ fuqaha’ bukan soal yang enteng.
5.
Pernikahan muhalil itu
dipandang sah atau tidak?
“Muhalil”
ialah seorang laki-laki yang mengawini perempuan yang sudah ditalak tiga dengan
tujuan supaya laki-laki pertamma itu bisa kembali lagi dengannya. Rosulullah
saw. menamakan laki-laki semacam itu denagn “kambing pinjaman” sebagai
disebutkan dalam haditsnya sbb:
ألا أخبركم بالتيس المستعار ؟ قالوا: بلى
يا رسول الله، قال: هو المحلل، لعن الله المحلل و المحلل له.
Artinya: “Maukah kalian
kuberitahu tentang kambing pinjaman? Mereka (para Sahabat) menjawab: baiklah
yaa Rosulullah! maka sabda Beliau: Dia itulah yang disebut Muhallil, semoga
Allah mengutuk muhallil dan muhallal lahu (laki-laki yang dihalalkan olehnya)”.
(HR. Ibnu Majah, dan Hakim; dan hakim mengesahkannya, juga diriwayatkan oelh
al-Baihaqi dari Uqbah bin Amir).
Para Ulama’ berbeda
pendapat tentang pernikahan muhallil ini.
a.
Jumhurul
Ulama’ seperti: Malik, Ahmad, Syafi’I dan Tsauri, berpendapat nikahnya itu
batil, karena itu bagaimanapun perempuan tersebtu tidak halal kembali dengan
suaminya yang pertama.
Dengan
dalil dari Hadits Nabi saw. yang mengatakan:
لعن الله المحلل و المحلل له.
Artinya:
“Rosulullah saw. melaknat muhallil (laki-laki yang menghalalkan) dan muhallal
lahu (laki-laki yang dihalalkannya)”. (HR. Ahmad, Nasa’I dan Tirmidzi, dari
Abdullah bin Mas’ud).
b.
Sementara
Hanafiyah dan sebagian Ulama’ Syafi’iyah berpendapat: Pernikahannya itu adalah
makruh, dan bukan batil. Dari mana “muhallil” itu sendiri sudah menunjukkan
sahnya perkawinan tersebut, sebab dia sebagai penyebab halal.
Diriwayatkan
dari al-Auza’I, ia berkata: Perbuatan semacam itu sangat tercela, tetapi
pernikahannya boleh.
0 komentar:
Posting Komentar