Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

As sunnah pada zaman Khulafaur Rosyidin


A.    As sunnah pada zaman khulafaur rosyidin
As sunnah di masa khulafaur-rasyidin ini senantiasa menjadi bahan pembahasan dari waktu ke waktu karena kedudukannya yang agung di sisi Al Qur’an. Para sahabat pun sangat berhati-hati dalam menerima riwayat agar tidak salah dalam pemahaman dan pengamalan. Pernah terkisah Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Nabi saw bahwa, “Mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya”. Mendengar berita tersebut Ummul Mu’minin ‘Aisyah menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak mengambil hadits sebagaimana mestinya dan tidak pas lafadznya. Karena menurut kejadiannya memberitakan bahwa Rasulullah saw lewat pada jenazah seorang wanita Yahudi yang ditangisi oleh keluarganya, kemudian beliau bersabda, “Mereka menangisinya, sedangkan ia disiksa di dalam kuburnya”. Jadi siksa itu bukanlah karena tagisan keluarganya, dan siksa yang diterima setiap orang mati itu bukanlah disebabkan oleh tangisan, sebagaimana kesimpulan yang ditarik dari lafadz-lafadz hadits riwayat Ibnu Umar. Hadits tersebut -menurut riwayat ‘Aisyah- adalah berita suatu kasus yang kemudian disampaikan oleh Nabi saw sebagaimana yang beliau dengar dan lihat. Jadi hal tersebut tidak mengandung hukum tertentu bagi syari’at.
       I.            Keadaan politik pada masa itu
            Nabi Muhammad SAW selain menjadi kepala agama beliau juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di kota madinah, sebelum nya tidak ada kekuasaan politik di kota tersebut[1].
Beliau wafat tahun 632 M, nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam. Belum jenazah di makamkan umat islam masih di bingungkan denganpengganti beliau dalam memimpin umat islam dalam politik. Para sahabat memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak merasa berhak menjadipemimpin umat islam. Tapi pada akhirnya abu bakar lah yang terpilih.
Abu bakar menjadi khalifah hanya 2 tahun. Pada tahun 634 ia meninggal dunia. Masa secepat itu habis untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam negeri yaitu sikap menetang mereka dan tidak mau tunduk lagi terhadap pemerintahan madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah nabi wafat, akhirnya terjadi peperangan di kalangan umat islam sendiri yang disebut perang Riddah[2]. Dalam perang tersebut Khalid ibn al-walid yang paling berjasa.
Pada masa khalifah abu bakar sebagaimana masa rasulullah kekuasaan yang di jalankan bersifat sentral. Kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu bakar meninggal dunia, kemudian ia digantikan oleh tangan kanannyayakni umar bin khattab, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat kemudian mengangkat umar dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam.
Umar bin khattab menjadi khalifah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), di zaman beliau perluasan daerah terjadi pada tahun 635 M ibu kota syiria, damaskus jatuh di bawah kekuasaan islam setahun kemudian seluruh daerah syiria. Tahun 641 M ibu kota Mesir, Iskandaria dan mosul dekat Hirah di Iraq, begitu juga tahun 637 M Al-Qadisiyah, sebuah kota Al-Madain[3].
Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, maka umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh milik Persia. Pada masanya mulai di atur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka kepolisian di bentuk. Umar juga mendirikan Baitul Mal. Masa jabatannya berakhir dengan kematian, dia di bunuh oleh seorang budak yang bernama lu’luah. Untuk menemukan penggantinya, ia menunjuk 6 orang yaitu, Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad Ibn Abi Waqas Dan Abdur Rahman Bin ‘Auf. Untuk memilih salahsatu dari mereka. Akhirnya ustman terpilih dengan melalui persaingan yang agak ketat dari Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan ustman (644-655 M) wilayah ekspansi islam meliputi, Armenia , Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, yakni Transoxania dan Tabaristan. Beliau menjadi khalifah pada usia 70 tahun dan memimpinya selama 12 tahun. Pada akhir pemerintahannya, umat islam banyak yang kecewa dan tidak puas, sehingga pada tahun (35 H/ 655 M) penyebab meninggalnya ustman yakni dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri oleh orang-orang kecewa tersebut.
Salah satu pemicu terjadinya pembunuhan usman adalah beliau mengangkat kelarganya sendiri dalam kedudukan tinggi, diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan usman hanya menyandang gelar khalifah[4]. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, ustman laksana boneka di hadapan kerabatnya.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting. Ustman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota, dia juga membangun jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluar masjid nabi di Madinah.
Setelah ustman wafat, mayrakat berami-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah. Ali memerintah hanya 6 tahun, selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil, ali memecat para gubernur yang di angkat oleh ustman, dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena ketelledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang di hadiahkan ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system distribusi pajak tahunan diantara orang-orang islam sebagaimana pernah diterapkan umar.
Tidak lama setelah itu ali bin abi thalib menghadapi pemberontakan thalhah, zubair, dan Aisyah. Alasan mereka karena ali tidak mau menghukum para pembunuh ustman, ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Dia mengirim surat kepada thalhah dan zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara secara damai. Namun, ajakan tersebut akhirnya ditolak. Akhirnya pertempuran terjadi yang di kenal dengan sebutan perang jamal. Ali berhasil membunuh zubair dan thalhah sedangkan ‘aisyah di tawan dan di kirim kembali ke madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, muawwiyah. Ali bergerak dari kufah menuju Damaskus dengan sejumlah tentara besar. Pasukannya bertemu dengan pasukan muawwiyah di Shiffin, terjadi peperangan disini yang dikenal dengan nama, perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (Arbitrase) tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij. Akibatnya di ujung maa pemerintahan Ali umat islam terpecah menjadi 3 kekuatan politik, yaitu muawwiyah, syiah, dan khawarij. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan tentara ali semakin lemah, sementara posisi muawwiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramdhan 40 H, ali terbunuh oleh anggota khawarij.
Kedudukan ali kemudian di jabat oleh anaknya hasan selama beberapa bulan. Namun, karena hasan lemah sementara muawwiyah semakin kuat, maka hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini membuat umat islam menjadi satu di bawah kepemimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan dan dalam tahun tersebut di kenal sebagai tahun Jama’ah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut masa Khulafaur Rashidin
B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadis
Setelah nabi Muhammad SAW wafat (11 H = 632 M), kendali kepemimpinan umat islam berada ditangan sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al Khulafaur ar Rosyidun. Periwayatan hadis pada zaman sahabat ini dapat diklasifikasikan pada dua masa, yakni ; masa Khulafaur Rosyidin atau sahabat besar dan masa sesudah al Khulafaur ar Rosyidun atau sahabat kecil.
a.      Masa al Khulafaur ar Rosyidun
Pada masa pemerintahan al Khulafaur ar Rosyidun, periwayatan hadis semakin ketat.Hal ini dilakukan untuk menjaga hadis nabi dari usaha-usaha negatif orang-orang yang hendak memusuhi agama islam dan merusak ajarannya. Untuk mengantisipasi usaha mereka, khulafaur rosyidin mengambil beberapa tindakan, yaitu ;
1.      Membatasi dan Mereduksi periwayatan
Tindakan yang cukup menonjol pada masa awal pemerintahan Abu Bakar dan Umar adalah usaha mereka dalam membatasi periwayatan hadis. Mereka berusaha menjahui dan memperbanyak periwayatan dengan mendasarkannya pada hadis nabi ;
“wahai manusia jahuilah (olehmu) memperbanyak (periwayatan) hadis dariku barang siapa yang mengatakan (sesuatu) dengan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar.barang siapa yang berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya dineraka.”
Mereka memandang dengan banyaknya meriwayatkan hadis kemungkinan terjadinya kesalahan dan lupa sangat besar. Sahabat lain yang terkenal dalam hal ini adalah Abu Bakar, Imran bin Al husain, Abu Ubaidah, dan Al Abbas bin Abdul Al muthollib.
2.      Berhati-hati dan ketat dalam menerima dan menyampaikan hadis
Satu hal lagi yang menjadi ciri-ciri periwayatan pada masa ini yaitu mereka tidak segera menerima dan meriwayatkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, kecuali telah terbukti kebenarannya. Untuk membuktikan kebenaran ini, Abu Bakar meminta kepada periwayat untuk menghadirkan saksi, sedangkan Ali meminta kepada periwayat untuk bersumpah atas kebenaran hadis itu. Umar melakukan keduanya dengan maksud untuk berhati-hati.
3.      Melarang Periwayatan Hadis yang melampaui batas pemahaman umat
Langkah yang ditempuh oleh para sahabat ini adalah mewarisi cara nabi dalam menyampaikan ajarannya yaitu sangat memperhatikan kadar kemampuan dan pemahaman sahabat.
b.      Masa sesudah Al Khulafaur Ar Rosyidun
Periwayatan hadis pada masa sesudah Al Khulfaur Ar Rosyidun semakin banyak dan meluas. Hadis yang dimiliki para sahabat tidak seluruhnya langsung diterima dari nabi. Kadang mereka memperolehnya dari sahabat lain bahkan dari Tabi’in.
            Berhubung semakin meluasnya wilayah Islam dan tersebarnya para sahabat penerima dan saksi hadis, maka dalam masa ini mulai muncul kisah pengembaraan periwayat hadis untuk mendapatkan atau mencocokan satu hadis. Misalnya pengembaraan yang dilakukan oleh Abu Ayyub Al Ansariy dari daerah hijaz menuju ke Mesir untuk mencari sebuah hadis dari Uqbah bin Amir. Juga Jabbir bin Abd Allah yang mengadakan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Syam untuk mendapatkan hadis dari Abd Allah bin Unais tentang qisas.
Namun dalam kenyataannya periwayatan yang menyebar di antara mereka tetap berada pada dua jalur, yaitu ar riwayah bi al lafz dan ar riwayah bi al ma’na, karena pada dasaranya dua jenis periwayatan ini telah ada sejak masa nabi.
Walaupun para sahabat berusaha ketat untuk meriwayatkan hadis (menerima dan menyampaikan) sesuai dengan apa yang didengar dan diterima, tetapi Ar Riwayah Bi Al Ma’na semakin berkembang pula. Hal ini bisa dimaklumi karena jarak antara para periwayat dengan nabi sudah semakin jauh dan untuk mengingat lafal hadis sesuai dengan yang diterima sejak awal dirasakan cukup sulit. Kondisi diatas masih ditambah oleh fenomena belum terkodifikasikannya hadis dalam karya khusus dan telah meluasnya wilayah islam ke berbagai penjuru.
C.    Menolak Anggapan Seputar Metode Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadis
Al qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sejak turunnya telah ditulis oleh para sahabat, khususnya para penulis (al kuttab) nabi SAW. Mengingat pembacaan al qur’an dihitung sebagai ibadah, dan susunannya dianggap sebagai mukjizat, maka periwayatanya tidak boleh secara makna.  Lafal al qur’an harus terjaga sebagaimana awal turunnya, tidak boleh ditambah dan dikurangi, walaupun satu huruf, kata, bahkan kalimat.Tidak demikian yang terjadi pada hadis, pada awalnya penulisan hadis masih diperselisihkan oleh para sahabat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang.
Perlu ditegaskan bahwa hanya hadis-hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qouliyyah) yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal, dan ini pun sangat sulit dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain yang berupa perbuatan, taqrir dan hal ihwal nabi, diriwayatkan oleh sahabat dengan menggunakan ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan kesaksian masing-masing. Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwatan secara makna (ar riwayah bi al ma’na).
Secara garis besar pandangan ulama tentang ar riwayah bi al ma’na ini dikategorikan pada tiga macam, yaitu ; 1. Tidak boleh secara mutlak 2. Boleh secara mutlak dan 3. Boleh dengan syarat.
1.      Ulama yang tidak membolehkan Ar Riwayah Bi Al Ma’na
Abd Allah bin Umar, dia termasuk mutasyaddid dalam menjaga lafal hadis nabi, sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf  atau kata dan tidak pula mendahulukan atau tidak mengakhirkannya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali, dia berkata,” Ibnu Umar, jika mendengar hadis, dia tidak menambah atau mengurangi dan tidak pula meringkasnya.”
Dalam suatu riwayat, dia pernah menegur sahabat lain ‘Ubaid Allah bin Umair yang mengganti lafal asy syat al ‘airah (domba yang cacat) dengan lafal asy syat ar rabidah (domba yang lemah).
2.      Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua yaitu membolehkan ar riwayah bi al ma’na secara mutlak tanpa diiringi dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini termasuk golongan mutasahil dalam periwayatannya, berbeda dengan pendapat yang pertama yang sangat ketat atau mutasyaddid.
Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan kesembronoan dan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun demikian, praktik seperti ini telah ada dan berkembang. Periwayatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah Hasan al Basriy (w. 110), Asy sya’biy (w. 104), Ibrahim an Nakhaiy (w. 96).
3.      Membolehkan dengan menekankan pemenuhan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawassit) antara bentuk yang mutasyaddid dan mutasahil. Supaya periwayat tidak mengalami kesulitan dan merasakan keberatan dalam meriwayatkan hadis disebabkan oleh sangat ketatnya aturan-aturan dan tidak terlalu sembrono dan lengah disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada, maka gologan yang ketiga ini memberikan solusi dengan mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh periwayat ketika meriwayatkannya secara makna.
Selanjutnya, mereka menganggap bahwa ar riwayah bi al ma’na merupakan rukhsah bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.
Al Mawardiy mengatakan bahwa ar riwayah bi al ma’na di perbolehkan jika periwayat yang bersangkutan lupa lafalnya. Menurutnya ;
“Hadis itu mencakup lafal dan makna dan jika tidak mampu menyampaikan salah satunya, hendaknya disampaikan dengan yang lain. Dengan tidak menyampaikan apapun, seseorang dianggap menyembunyikan ilmu dan hukum. Namun jika tidak lupa, maka tidak boleh menyampaikannya selain dengan lafal yang didengar, karena kalam nabi mengandung fasahah, tidak seperti lainnya.”


[1] Teologi islam, Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: VI-Press),
[2] Sejarah peradaban islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press 2010), hlm. 05
[3] Ibid-, hlm. 37
[4] Di kutib dari Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, (Bandung; CV Rusyda, 1987, cetakan pertama), hlm.62

Hermeneutika


A . Asal-usul dan Pengertian Hermeneutika
         Sebelum kita mendefinisikan hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes[1]. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[2] Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.
Sosok Hermes Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Hermes adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia,[3] sedangkan Hermeneutika  secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[4] Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[5] Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[6] Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[7]
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.[8]
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. [9]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
Sedangkan. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation)[10] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai:
1.   Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis).
2.   Hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3. Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4.   Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften).
5. Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding).
6. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan.
BSejarah Perkembangan Hermeneutika
Dalam sejarah perkembangan hermeneutika pada abad pertengahan. Hermeneutika dikatakan sebagai sebuah disiplin yang di perlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat ‘’perbedaan’’ pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah Eropa : Katolik sebagai pemegang status qou  dan Protestanisme sebagai pembawa gerbong pembaharuan. Di wilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman Kristiani ‘’lahir’’, bahwa Bibel mestinya selalu ditafsirkan dan di jelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang terlatih dan punya otoritas sacral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang di gawangi oleh Martin Luther, menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala memang sama berbulu, namun pendapat tentang apa yang disebut Bibel ‘’boleh’’ saja berbeda-beda. Manusia yang punya Iman dan mau membaca kitab suci lah yang berhak menafsirkan kandungannya. Inilah pengertian sola scriptura.[11]
Dalam risalah De doctrina Christiana, karangan Santo Agustinus, mengemukakan konsep-konsep penting menyangkut hubungan antara bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dala tradisi Kristen. Konsep tersebut adalah actus signatus dan actus exercitus. Kedua konsep ini lahir dari dua macam ‘’kata’’ yakni antara kata yang di ucapkan dan kata yang ada dalam pikiran. Ketika seseorang mengucapkan sebuah kata, saat itu yang dilakukannya adalah member tanda (actus signatus) terhadap apa yang dia maksudkan dalam pikirannya, buah pikiran yang ada dalam pikirannya tersusun dalam bentuk kata-kata batiniah. Kata-kata batiniah ini bentuknya sangat abstrak dan hanya bias di pahami dalam konteks yang juga bersifat batiniah, ketika ingin di ungkapkan keluar melalui ucapan, ketika itu yang di pilih adalah kata jasmani dan tindakan itu disebut actus signatus. Bagaimana memilih kata-kata batin tadi kemudian mengungkapkannya inilah yang disebut Agustinus dengan actus exercitus. Diri sendiri berusaha melakukan semacam penafsiran terhadap kata-kata batin dan kemudian ‘’menerjemahkannya‘’ ke dalam kata jasmani. Begitu pula keaadaannya jika orang lain (pendengar) ingin mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh pembicara/penulis lewat sebuah kata yang di ucapkannya, maka dia harus berusaha sampai kepada bentuk kata-kata yang ada dalam pikirannya dengan melakukan actus exercitu. 
A.    Hubungan antara hermeneutika dengan ilmu filsafat Bahasa
 Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra yang menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks karya sastra. Disamping hermeneutic harus bisa menyesuaikan diri dengan bahasa sebagai kupasan-kupasan linguistic, supaya tercipta aturan tatabahasa yang baik dan memudahkan langkah kerja hermeneutic dalam memberikan interpretasi dan pemahaman yang optimal terhadap tkes karya sastra.
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci). Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan. Pendekatan hermeneutic tidak mencari makna yang benar, melainkan mencari makna yang optimal. Dalam menginterpretasikannya, untuk menghindari keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas, pada umumnya dilakukan dengan gerak spiral. Penafsiran terjadi karena setiap objek memasang setiap horizon dan paradigma yang berbeda. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, menambah kualitas estetika, etika dan logika.
Metode penerapannya Menurut Paul Ricoeur perlu dilakukannya distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut:
 a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
 b.  Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
 c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
 d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
 e.  Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
 f.   Menurut Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Hermeneutik Salah satu bagian yang perlu lebih jauh dijelaskan dalam skema di atas adalah soal simbolisasi ujar Ricour. Teks, yang tidak lain adalah formulasi bahasa, adalah kumpulan penanda yang sangat kompleks. Saussure mendikotomikan bahasa sebagai penanda (citra akustis, bunyi) versus petanda (konsep). Bahasa adalah lambang yang paling kompleks dibandingkan dengan berbagai hal lain di masyarakat. Dalam kaitan dengan hermeneutika, Ricoeur kemudian menyebut metafora (pengalihan nama, perbandingan langsung, perlambangan) sebagai bagian penting untuk dibahas dalam hermeneutika. Pemahaman atas teks, menurut Ricoeur, niscaya akan berlanjut kepada pemahaman tentang metafora.
Plus minusnya. Kekurangan teori ini adalah objektifitas teori ini diragukan karena terjadi subjektifitas penafsir/interpreter. Maka peran interpreter sangat urgen sekali dalam memberi makna dan pemahaman terhadap teks, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Menurut Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Kelebihan teori ini ialah memberikan interpretasi terhadap kajian dalam teks sastra secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis).


[1][1] Di kutib oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer: di dalam literatur-litelatur pengantar hermeneutika yang banyak beredar, sering dinyatakan bahwa katahermeneutika berkaitan dengan kata ‘’Hermes’’ nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam. Namun, sejauh pelacakan P. Chantraine, pengarang kamus Dictionnaire etymologique de la langue grecque, nama Hermes ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan seni (ermeneutike). Lihat Jean Grondin,  Sources of Hermeneutics (New York: SUNY Press 1995), hlm. 21 (catatan kaki no. 8)
[3]  Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Ibid 
[4] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 14
[6] Richard E. Palmer, op.cit., h. 15.
[7]  Ibid
[8]  Lihat ibid., h. 15-16.
[9]Http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.
[10] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 3.,
[11] Inyiak Ridwan Muzir,  Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA Cet. II , November 2010, hlm. 67

Pengertian, dasar-dasar dan sejarah timbulnya “Ilmu Kalam”


11.      Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi islam. Disebut dengan ilmu ushuluddin karena, ilmu ini membahas pokok-pokok agama dan disebut ilmu tauhid karena, ilmu ini membahas keesaan Allah SWT, juga asma’ dan afal Allah yang wajib, mustahil dan jaiz, juga sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi rasul-Nya.
Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikosentrasikan pada penguasaan logika. Abu Hanifah menyebut ilmu ini fiqh al-akbar. Menurut persepsinya, hokum islam yang kenal dengan istilah fiqih terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh al-akbar, membahas pokok-pokok agama. Kedua, fiqh al-asghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabangnya saja.
Teologi islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, Theology. William L.Reese mendefinisikan dengan “discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang ketuhanan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan,”Theology to be a discipline resting on revealed truth and indepent of both philosophy and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang membicarakan tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).
Apabila memperhatikan definisi di atas, ilmu kalam secara sederhana bisa disebut sebagai ilmu yang berbicara mengenai aspek-aspek ketuhanan, sejarah pemikiran dan perbedaan ketuhanan dalam islam.

2.      Dasar-dasar Ilmu Kalam
a.         Al-Qur’an : Banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
1.       قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) ( الأخلاص  : 1-4)
2.       الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ  خَبِيرًا ( الفرقان :59)
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
3.       الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى   بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ( الفتح :10)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
b.        Al-Hadis : Banyak juga Al-Hadits yang menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ فأَتاه رجلٌ فقال : ما الإيمان قال : الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال : ما الإسلامُ قال : الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال : ما الإحسان قال : أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال : متى الساعةُ قال : ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛ إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية : ثم أدبر فقال : رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً فقال : هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم . متفق عليه
“ Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat : إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat: “Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
c.         Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat islam sendiri atau pemikiran luar umat islam. Sebelum filsafat masuk dan berkembang di dunia islam, umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionya untuk menjelaskan ayat-ayat al-quran yang masih samar. Ternyata keharusan menggunakan rasio telah mendapat pijakan dari beberapa ayat al-quran salah satunya:
(أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ( محمد : 24
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?.
Adapun sumber ilmu kalam yang berasal dari pemikiran luar umat islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, pemikiran non muslim yang telah menjadi peradapan lalu di transfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat islam. Kedua, berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis seperti filsafat (terutama dari Yunani) sejarah dan sains.
d.        Insting Manusia
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Karenanya, kepercayaan adanya Tuhan berkembang sejak adanya manusia pertama. Menurut Abas Mahmoud Al-Akkad, mitos merupakan asal-usul agama dikalangan primitif. Tylor, justru mengatakan bahwa animisme (anggapan adanya kehidupan pada benda mati) merupakan asal-usul keperyacaan kepada Tuhan, adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah paling tua.

3.      Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam
Rasulullah SAW, selama di Mekkah mempunyai fungsi sebagai kepala agama. Setelah hijrah ke Madinah fungsinya bertambah juga menjadi kepala pemerintah. Beliaulah yang mendirikan politik yang di patuhi oleh kota ini, sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik. Setelah wafatnya rasulullah, rosulullah digantikan dengan Abu Bakar, lalu Umar bin Khattab selanjutnya digantikan Usman lalu Ali bin Abi Tholib.
Usman merupakan khalifah berlatarbelakang pedagang kaya raya. Tetapi, ahli sejarah mengatakan bahwa Usman termasuk khalifah yang lemah, karena tidak dapat menentang keluarganya yang berpengaruh berkuasa di pemerintahan. Sehingga mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah kekuasaan islam dengan mengganti gubernur-gubernur yang dulu diangkat oleh Umar bin Khottob yang dikenal kuat dan tak memikirkan keluarga. Tindakan politik Utsman memecat gubernur-gubernur angkatan Umar, memancing reaksi yang tidak menguntungkan baginya. 500 orang memberontak di mesir sebagai reaksi atas diberhentikannya gubernur Umar bin ‘Ash yang diangkat Umar dan digantikan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sar dari kelurga Utsman yang berujung tewasnya Utsman bin Affan.
Setelah Utsman wafat, kekhalifahan diganti Ali bin Abi Thalib. Tetapi segera dia mendapat tantangan dari Tholhah dan Zubair dari mekkah yang mendapat dukungan dari Siti Aisyah. Gerakan ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam pertempuran di Irak tahun 656 M. Tholhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah maih hidup lalu dikirim kembali ke mekkah. Tak cuma di sini, tantangan berikutnya muncul dari Mu’awiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman. Sebagaimana Tholhah dan Zubair, dia tidak mengakui Ali sebagai kholifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum para pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan soal Ustman. Salah seorang pemberontak mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar yang tidk lain adalah anak angkat dari Ali. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Ali mengangkat Muhammad Ibnu Abi Bakar menjadi gubernur mesir.
Terjadi pertempuran antara pasukan Ali dan mu’awiyah di Shiffin, mu’awiyah terdesak, Amr bin ‘Ash tangan kanan mu’awiyah mengangkat al-Qur’an ke atas sebagai tanda ajakan damai. Para Qurro dari kalangan Ali menganjurkan untuk menerima sebagian pasukan Ali menganjurkan menolaknya tetapi Ali memilih menerima. Dan dengan demikian, dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr bin ‘Ash dari mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali. Sebagai yang lebih tua Abu Musa maju terlebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai, putusan menjatuhkan kedua pemuka. Berlainan dengan Amr bin ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali, tetapi tidak penjatuhan mu’awiyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan mu’awiyah sebagai kholifah  yang ilegal.
Terhadap sikap Ali yang mau mengadakan arbitrase menyebabkan pengikut Ali terbelah menjadi dua yakni golongan yang menerima arbitrase dan golongan yang sejak semula menolak arbitrase, yang menolak berpendapat bahwa hal itu tidak dapat diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan hanya datnag dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an, la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain Allah). Mereka menyalahkan Ali dan karenanya keluar serta memisahkan diri dari barisan Ali (disebut kaum Khawarij).
Kaum khawarij memandang para pihak yang menerima arbitrase yaitu Ali, Mu’wiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai kafir dan murtad karena tidak berhukum kepada hukum Allah berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah 44, karenanya halal dibunuh:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ