Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Cerpen "Calon Menantu"

Ass, Kak. Aku baru nyampe rumah.”
Tak sabar Yayah mengirimkan SMS itu begitu tiba kembali di Tanah Air. empat
tahun lamanya ia menuntut ilmu di Al-Azhar University, Cairo. Tiga tahun di
antaranya dilaluinya dengan menyimpan kenangan dan rindu kepada Qodari.

Ya,
lelaki asli Madura itu telah merebut hatinya sejak saat pertama menyambut
kedatangannya di pagi buta, di Bandara Internasional Cairo. Bersama sejumlah
senior lainnya, Qodari menjemput rombongan mahasiswa baru Al-Azhar
University asal Indonesia yang merupakan peserta program beasiswa kerja sama
Indonesia-Mesir.


Yayah segera saja menjadi bintang mahasiswa Al-Azhar angkatan tahun
tersebut. Posturnya tinggi, dengan hidung mancung, bibir merah delima asli
tanpa pulasan lipstik, dan kulit seputih kapas. Busana apa pun yang
dikenakan gadis berdarah Sunda itu hanya membuatnya makin kelihatan cantik
dan mempesona. Banyak kakak kelasnya yang berupaya menampakkan perhatiannya.
Terutama mahasiswa tahun ke empat yang sudah hampir lulus S-1 maupun mereka
yang sedang menempuh jenjang pendidikan Pasca Sarjana.
Hanya Qodari yang sama sekali tak pernah memberikan sinyal khusus kepadanya.
Meskipun ia tak pernah menolak jika Yayah memerlukan bantuannya. Terkadang
Yayah ingin bertanya kepada kakak kelasnya, apakah Qodari sudah mempunyai
calon istri. Namun ia merasa malu sendiri. Baru datang ke Mesir kok udah
bicara cinta? Setahun kemudian, Qodari lulus S-1. Ia akan pulang ke
Indonesia sebentar, lalu melanjutkan pendidikan S-2 di Pakistan.
Yayah dan sejumlah teman mengantarnya ke bandara. Ada yang terasa hilang di
jiwanya saat sosok lelaki yang selama ini kerap mengisi relung batinnya itu
menghilang dari pandangan sesaat setelah melewati imigrasi. Negeri Mesir
yang indah kini terasa begitu hampa. Ketika mobil yang ditumpanginya
perlahan meninggalkan bandara, matanya menatap jauh ke landasan, ke deretan
burung-burung besi yang dengan angkuhnya bertengger di sana. Kalau saja ia
punya sayap, ingin rasanya ia terbang dan hinggap di pesawat yang akan
mengantar Qodari pulang ke Indonesia.
Betapa kejamnya Kak Qodari. Ia pergi tanpa pernah memberikan tanda apapun
kepadanya. Apakah ia begitu keras hatinya, sehingga tak mampu menangkap
sinyal perasaan yang dikirimkan oleh seorang gadis ? meski itu hanya berupa
wajah memerah dan sikap canggung manakala tanpa sengaja berpapasan di
perpustakaan kampus, Masjid Al-Azhar, dan Wisma Nusantara yang merupakan
pusat aktivitas mahasiswa Indonesia di Mesir. Padahal, lulusan terbaik
Al-Azhar University dengan predikat Mumtaz itu dikenal selalu ramah dan
simpatik kepada siapapun.
Diam-diam ia pun menyesali dirinya. Kenapa ia tak berterus terang saja, atau
setidaknya mengirimkan sinyal yang lebih jelas, misalnya berupa SMS yang
berisi sindiran tentang cinta. Atau, mengapa ia tidak menitipkan salam lewat
salah seorang kakak kelasnya yang sama-sama aktif di PPMI bersama Qodari?
”Yayah, kamu sakit?” tanya Aisyah, melihat wajah Yayah yang agak pucat.
Buru-buru Yayah menggeleng. ”Ah, tidak. Hanya kurang tidur saja,”
kilahnya. Sesaat sebelum pesawat Singapore Airlines yang akan membawanya
dari Cairo ke Jakarta bersiap-siap untuk lepas landas, Qodari mengirimkan
SMS: ”Bila kamu mau menjadi istriku, aku akan menunggumu.’ ‘ Membaca SMS
tersebut Yayah rasanya ingin berteriak dan melompat dari mobil. Namun ia
berusaha menahan perasaannya sewajar mungkin.
”Welcome home. Jadi, kapan aku boleh datang melamarmu? Wss.” Balasan dari
Qodari selalu pendek dan to the point. Namun itu sudah lebih dari cukup.
”Aku akan bicara dulu dengan Abah. Nanti aku kabari Kakak.” Butuh waktu
sebulan, baru KH Syamsuri, ulama terpandang di Bekasi, mengizinkan Qodari
datang melamar putri kesayangannya. ”Saya tunggu Jumat pagi, pukul enam,”
kata KH Syamsuri kepada Qodari, lewat telepon.
Dua tahun di Pakistan, Qodari kembali ke Tanah Air dengan menggondol gelar
Master di bidang ekonomi syariah. Ia mengajar ekonomi syariah di salah satu
universitas ternama di Jakarta. Ia rajin menulis di media massa, khususnya
mengenai ekonomi Islam. Ia pun menjadi da’i dan sudah mulai sering tampil di
acara keislaman di televisi. Tepat pukul enam kurang 10 menit, ia tiba di
rumah Sang Kyai. Ulama kharismatis itu sedang duduk di beranda sambil
memegang tasbih dan melantunkan zikir.
”Assalaamu’ alaikum.’ ‘
KH Syamsuri menoleh. ”Wa’alaikumsalaam. ”
Qodari segera mencium tangan Sang Kyai. ”Saya Qodari.”
”Silahkan duduk.” Suaranya terdengar berwibawa. Sorot matanya tajam.
”Terima kasih, Pak Kyai.”
Yayah menyaksikan dari dalam rumah. Hatinya berdegup kencang melihat wajah
yang selalu dirindukannya itu.
”Sayang, mana tehnya?”
”Siap, Abah.”
Yayah segera mengantarkan minuman teh manis. Wajahnya terasa bersemu merah
ketika Qodari menatapnya. Tanpa sengaja ia menunduk.
”Duduk di sini, sayang,” kata KH Syamsuri.
Dengan kikuk, Yayah duduk di samping ayahnya, berhadapan dengan Qodari.
”Silahkan jelaskan, apa tujuan kamu datang ke rumah saya,” suara KH
Syamsuri terdengar sangat tegas.
”Terima kasih, Pak Kyai. Saya berniat melamar Yayah untuk menjadi istri
saya.”
KH Syamsuri tidak langsung menjawab. Ia menatap pemuda di hadapannya,
seperti ingin mencari kepastian di matanya. Tanpa sadar, Qodari mengangguk.
Yayah merasa serba salah. Ia tidak berani mendonggakkan wajahnya.
”Tadi malam kamu shalat Tahajud?” tanya KH Syamsuri tiba-tiba.
”Ya, Pak Kyai.”
”Tadi pagi shalat Shubuh di mana?”
”Saya shalat Shubuh berjamaah di Masjid An-Nur, Perumahan Permata Timur,
Kalimalang.’ ‘
”Ya, sudah. Tiga bulan lagi kamu balik ke sini.”
Setelah itu, KH Syamsuri masuk ke dalam rumah. Qodari pun beranjak pulang.
Yayah ingin protes kepada abahnya. Namun ia tidak berani. Abahnya sangat
sayang kepadanya, apalagi semenjak ibunya meninggal enam tahun lalu. Namun
ia sangat tegas memegang prinsip.
Tiga bulan kemudian, Qodari datang lagi. Namun hal yang sama berulang. Ia
diminta datang lagi tiga bulan kemudian. Lagi-lagi, pertanyaannya sama,
yakni di mana dia shalat Tahajud dan shalat Shubuh.
Hari ini, untuk yang kelima kalinya Qodari datang ke rumah KH Syamsuri.
Berarti kurang lebih setahun lamanya ia melamar Yayah. Pertanyaan KH
Syamsuri tetap tidak berubah.
”Saya Tahajud dilanjutkan Shubuh berjamaah di Islamic Centre Bekasi,”
sahut Qodari mantap.
”Selama setahun ini, berapa kali kamu tidak shalat Tahajud, dan berapa kali
kamu tidak shalat fardhu berjamaah
.”
”Alhamdulillah, tidak satu kali pun, Pak Kyai.”
Tiba-tiba KH Syamsuri bangkit dari duduknya, dan memeluk Qodari. ”Aku
izinkan engkau menikahi putriku. Bimbinglah ia ke jalan yang diridhai Allah,
dunia dan akhirat,” bisiknya perlahan namun tegas di telinga Qodari.
Yayah menarik napas lega. Wajahnya tiba-tiba tersenyum sumringah.

KH Syamsuri melirik putrinya. ”Sayangku, calon suamimu berkhidmat di bidang
dakwah dan pendidikan. Bagaimana ia bisa menjadi seorang da’i yang istiqamah,
kalau ia tidak menegakkan shalat Tahajud dan shalat fardhu berjamaah?
Ketahuilah, Tahajud merupakan pakaian para Nabi, Rasul dan orang-orang
saleh. Sedangkan shalat fardhu jamaah merupakan ukuran kesungguhan iman
seseorang. Kamu pasti pernah membaca hadits, cukuplah untuk mengetahui
seseorang itu golongan munafik atau bukan dari shalat Shubuhnya, berjama’ah atau tidak.”

0 komentar:

Posting Komentar