Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

Pengertian, dasar-dasar dan sejarah timbulnya “Ilmu Kalam”


11.      Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi islam. Disebut dengan ilmu ushuluddin karena, ilmu ini membahas pokok-pokok agama dan disebut ilmu tauhid karena, ilmu ini membahas keesaan Allah SWT, juga asma’ dan afal Allah yang wajib, mustahil dan jaiz, juga sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi rasul-Nya.
Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikosentrasikan pada penguasaan logika. Abu Hanifah menyebut ilmu ini fiqh al-akbar. Menurut persepsinya, hokum islam yang kenal dengan istilah fiqih terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh al-akbar, membahas pokok-pokok agama. Kedua, fiqh al-asghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabangnya saja.
Teologi islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, Theology. William L.Reese mendefinisikan dengan “discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang ketuhanan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan,”Theology to be a discipline resting on revealed truth and indepent of both philosophy and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang membicarakan tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).
Apabila memperhatikan definisi di atas, ilmu kalam secara sederhana bisa disebut sebagai ilmu yang berbicara mengenai aspek-aspek ketuhanan, sejarah pemikiran dan perbedaan ketuhanan dalam islam.

2.      Dasar-dasar Ilmu Kalam
a.         Al-Qur’an : Banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
1.       قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) ( الأخلاص  : 1-4)
2.       الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ  خَبِيرًا ( الفرقان :59)
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
3.       الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى   بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ( الفتح :10)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
b.        Al-Hadis : Banyak juga Al-Hadits yang menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ فأَتاه رجلٌ فقال : ما الإيمان قال : الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال : ما الإسلامُ قال : الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال : ما الإحسان قال : أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال : متى الساعةُ قال : ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛ إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية : ثم أدبر فقال : رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً فقال : هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم . متفق عليه
“ Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat : إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat: “Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
c.         Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat islam sendiri atau pemikiran luar umat islam. Sebelum filsafat masuk dan berkembang di dunia islam, umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionya untuk menjelaskan ayat-ayat al-quran yang masih samar. Ternyata keharusan menggunakan rasio telah mendapat pijakan dari beberapa ayat al-quran salah satunya:
(أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ( محمد : 24
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?.
Adapun sumber ilmu kalam yang berasal dari pemikiran luar umat islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, pemikiran non muslim yang telah menjadi peradapan lalu di transfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat islam. Kedua, berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis seperti filsafat (terutama dari Yunani) sejarah dan sains.
d.        Insting Manusia
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Karenanya, kepercayaan adanya Tuhan berkembang sejak adanya manusia pertama. Menurut Abas Mahmoud Al-Akkad, mitos merupakan asal-usul agama dikalangan primitif. Tylor, justru mengatakan bahwa animisme (anggapan adanya kehidupan pada benda mati) merupakan asal-usul keperyacaan kepada Tuhan, adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah paling tua.

3.      Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam
Rasulullah SAW, selama di Mekkah mempunyai fungsi sebagai kepala agama. Setelah hijrah ke Madinah fungsinya bertambah juga menjadi kepala pemerintah. Beliaulah yang mendirikan politik yang di patuhi oleh kota ini, sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik. Setelah wafatnya rasulullah, rosulullah digantikan dengan Abu Bakar, lalu Umar bin Khattab selanjutnya digantikan Usman lalu Ali bin Abi Tholib.
Usman merupakan khalifah berlatarbelakang pedagang kaya raya. Tetapi, ahli sejarah mengatakan bahwa Usman termasuk khalifah yang lemah, karena tidak dapat menentang keluarganya yang berpengaruh berkuasa di pemerintahan. Sehingga mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah kekuasaan islam dengan mengganti gubernur-gubernur yang dulu diangkat oleh Umar bin Khottob yang dikenal kuat dan tak memikirkan keluarga. Tindakan politik Utsman memecat gubernur-gubernur angkatan Umar, memancing reaksi yang tidak menguntungkan baginya. 500 orang memberontak di mesir sebagai reaksi atas diberhentikannya gubernur Umar bin ‘Ash yang diangkat Umar dan digantikan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sar dari kelurga Utsman yang berujung tewasnya Utsman bin Affan.
Setelah Utsman wafat, kekhalifahan diganti Ali bin Abi Thalib. Tetapi segera dia mendapat tantangan dari Tholhah dan Zubair dari mekkah yang mendapat dukungan dari Siti Aisyah. Gerakan ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam pertempuran di Irak tahun 656 M. Tholhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah maih hidup lalu dikirim kembali ke mekkah. Tak cuma di sini, tantangan berikutnya muncul dari Mu’awiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman. Sebagaimana Tholhah dan Zubair, dia tidak mengakui Ali sebagai kholifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum para pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan soal Ustman. Salah seorang pemberontak mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar yang tidk lain adalah anak angkat dari Ali. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Ali mengangkat Muhammad Ibnu Abi Bakar menjadi gubernur mesir.
Terjadi pertempuran antara pasukan Ali dan mu’awiyah di Shiffin, mu’awiyah terdesak, Amr bin ‘Ash tangan kanan mu’awiyah mengangkat al-Qur’an ke atas sebagai tanda ajakan damai. Para Qurro dari kalangan Ali menganjurkan untuk menerima sebagian pasukan Ali menganjurkan menolaknya tetapi Ali memilih menerima. Dan dengan demikian, dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr bin ‘Ash dari mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali. Sebagai yang lebih tua Abu Musa maju terlebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai, putusan menjatuhkan kedua pemuka. Berlainan dengan Amr bin ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali, tetapi tidak penjatuhan mu’awiyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan mu’awiyah sebagai kholifah  yang ilegal.
Terhadap sikap Ali yang mau mengadakan arbitrase menyebabkan pengikut Ali terbelah menjadi dua yakni golongan yang menerima arbitrase dan golongan yang sejak semula menolak arbitrase, yang menolak berpendapat bahwa hal itu tidak dapat diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan hanya datnag dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an, la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain Allah). Mereka menyalahkan Ali dan karenanya keluar serta memisahkan diri dari barisan Ali (disebut kaum Khawarij).
Kaum khawarij memandang para pihak yang menerima arbitrase yaitu Ali, Mu’wiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai kafir dan murtad karena tidak berhukum kepada hukum Allah berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah 44, karenanya halal dibunuh:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

5 komentar: