A. Hukum
Memegang Mushaf al-Qur’an
عن عبد الله ابن ابي بَكْر رضي الله عنه: اَنَّ فِي الكِتَابِ
الّذَِي كَتَبَه رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّم لِعَمْرو بن حَزْم اَنْ لايَمَسَّ
القُراَنَ اِلا طَاهِرٌ.(رواه مالك مُرْسَلا ووَصَلَه النَّسَائ وابن حبان وهو مَعْلُوْلٌ).
Artinya:
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Abu Bakar R.A.: bahwa dalam kitab yang ditulis oleh
Rosulullah untuk Amr bin Hazm terdapat tulisan “ Hendaknya seseorang tidak
memegang mushaf (al-Qur’an) kecuali dalam keadaan suci”. H.R. Imam Malik
(berupa hadits mursal) dan telah sampai pada imam Nasa’i dan Ibnu Hibban
(berupa hadits yang Ma’lul).
Makna Hadits
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang agung,
kehujjahannya jelas, dan kemu’jizatannya tetap (abadi), tidak patut memegangnya
kecuali orang yang suci (dari hadats), dan janganlah memegang kitab Allah dalam
keadaan berhadats. Hal ini bertujuan untuk mengagungkan dan menghormatinya.
Analisis
Lafadz
Nama dari Amr bin Hazm adalah Amr
bin Hazm bin Zaid al-Khazrajy an- Najjary. Beliau memiliki kuniyah Abu Dhohhak ( اَبُو ضَحَّا ك ). Ketika berumur 17 tahun, beliau diutus oleh Rosulullah untuk
mengajarkan masalah agama, al-Qur’an, dan sebagainya pada para sahabat. Suatu
saat Rosulullah menulis surat padanya yang didalamnya menjelaskan masalah
perkara-perkara yang fardhu, sunnah, masalah sedekah dan diyat. Beliau wafat
pada pemerintahan khalifah Umar bin khottob.
·
اِلاّ طاهِرٌ : yaitu suci dari hadats dan kotoran.
·
مُرْسَلا : Hadits
yang diangkat oleh seorang tabi’in kepada Rosulullah.
·
المَعْلُوْل:Hadits yang muncul pada suatu
sanad atau matannya suatu illat yang mencoreng kesahihan suatu hadits, padahal
secara dhahir hadits terebut selamat dari illat.
Fiqih Hadits
Dari keterangan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak diperbolehkan bagi orang mukallaf memegang mushaf dalam
keadaan tidak suci.
Mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi mensyaratkan orang untuk suci baik dari hadats
kecil maupun besar sebelum menyentuh mushaf Al-Qur’an. Namun Mazhab Dzhahiri
membolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an tanpa wudhu. Perbedaan dua pendapat ini
disebabkan perbedaan penafsiran dari ayat yang artimya: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.”
(Al-Wa-qi’ah: 79)
Jumhur (mayoritas) ulama mengharamkan
menyentuh Al-Qur’an tanpa wudhu, karena menfasirkan ayat di atas bahwa suci
yang dimaksud adalah suci secara mutlak (baik dari hadats kecil maupun besar).
Pendapat yang membolehkan menyentuh Al-Qur’an tanpa wudhu menafsirkan kitab
yang dimaksud adalah kitab lauh mahfuzh, bukan Al-Qur’an , dan “orang suci”
ditafsirkan adalah malaikat. Ada juga yang menafsirkan kitab yang dimaksud
adalah Al-Qur’an sebelum diturunkan kedunia. Arti
suci (thahir) sendiri tidak memiliki makna yang satu, arti suci bisa
bermakna orang yang beriman sebab (mukmin), Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang musyrik dihukumi najis”(QS.
Taubah: 20). Arti suci juga bisa bermakna
orang yang tidak junub (suci dari hadats besar saja), karena Allah berfirman
yang artimya: “Jika kamu junub maka
hendaklah kamu bersuci”(QS. Al-Maidah: 6). Namun
perlu diperhatikan bahwa suci (thahir) dalam ayat diatas berada pada
makna umum, tidak ada pengkhususan, sehingga makna suci yang dimaksud adalah
suci secara mutlak (baik dari hadats kecil maupun besar). Berarti orang
diwajibkan untuk wudhu sebelum menyentuh mushaf Al-Qur’an jika berhadats kecil,
dan wajib mandi jika berhadats besar. Hal ini karena kaidah ushul fiqh: “suatu dalil yang bersifat umum tetap pada keumumannya,
selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya” [Dr.Muhammad Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal.318] . “Lafadz umum (amm) adalah ialah
suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencangkup seluruh satuan yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu” (rahmat Syafi’I, 2007.193).
Dengan demikian pendapat yang terkuat
adalah tidak boleh menyentuh Al-Qur’an tanpa berwudhu jika berhadats kecil
(seperti: buang air kecil dan besar, kentut, dan sebagainya), begitu juga wajib
untuk mandi bagi yang berhadats besar (seperti: bersetubuh, mimpi basah, dan
sebagainya).
0 komentar:
Posting Komentar