1.
Pengertian Filsafat
Secara etimologi, Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’
dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang
berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos
yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom,
hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau
“Failasuf” dalam ucapan Arabnya. Mencintai
pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan
hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.
Dalam buku Filsafat Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa Philosophia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha; Philo
berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha
mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya bijaksana yang artinya
pandai, pengertian yang dalam. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui
bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat
kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak Dari berbagai
sumber yang penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau philosophia
terdiri dari dua kata seperti yang telah penulis uraikan di atas. Dengan
demikian pengertian filsafat menurut bahasa ialah cinta pengetahuan atau
kebijaksanaan.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan
pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang
dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang
berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya
Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu (pengetahuan ) yang meliputi
kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang
berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud
bagaimana hakikat yang sebenarnya.
2.
Perkembangan Filsafat Islam di Dunia
Timur dan Barat
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung
membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah
hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Masedonia, tapi juga menanamkan
kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan
pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat.
Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di
Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti lskandariah
(dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta Jundisyapur
di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di lran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan
Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di
Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan
tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan
ajaran al-Qur’an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang
Islam han’ya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para
sahabat untuk masuk Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama
yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang
dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun
menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat
yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan
yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai
argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi
rasional yang dipelopori kaum Mu’tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini
ialah :
Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tu nduk kepada
arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan
lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan
manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak
kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta
perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut
faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act,
yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.
Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha
Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam
ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan
apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan
peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan
akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya
hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya
falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
Filosof besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M)
satu-satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas mengatakan bahwa antara
falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai pembahasan
tentang yang benar (al-bahs’an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan
yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam
pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar
juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat kalau ada
yang benar maka mesti ada”Yang Benar Pertama” (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar
Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian
membahas soal Tuhan dan agama. Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi
adalah falsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam
Islam. Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
Dengan falsafat”al-Haqq al-Awwal”nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan
Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah
sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu
sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal.
Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz’iat (kekhususan, particulars).
Yang penting bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz’iat itu sendiri,
tetapi yang penting adalah hakikat dari juz’iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalarn benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals ). Tiap-tiap benda
mempunyai hakikat sebagai juz’i (haqiqah juz’iah) yang disebut aniah dan
hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat
yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan falsafat Islam.
Dalam hal ini Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam
pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan
ciptaan nya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat
arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah
sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang
esa.
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula soal
jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik
mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama
dengan AI-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat,
dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di
otak dan terdiri dari:
a.
Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh
pancaindra.
b.
Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari
materi.
c.
Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
d.
Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
e.
Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut
akal. Akal terbagi dua:
a.
Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal
dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b.
Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang
tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis
kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan
jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang
disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal
teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di
atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang
berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang
berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal
ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia,
sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal
praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di
depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan
lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada
janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena
otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya
akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada
kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi
penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena
keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya,
Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan
dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di
atas, fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat
abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia,
tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa
manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah
dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak
timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep
tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak
dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensia (al-fasl). Sebagai seorang
Mu’tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada
hanyalah semata-mata zat.
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111
M) terhadap pemikiran para filosof lslam. figa, diantara sepuluh itu, menurut
al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu :
1.
Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
2.
Pembangkitan jasmani tak ada
3.
Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di
alam.
Konsep alam qadim membawa kepada
kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti
sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah
tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak
diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima,
illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau
politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur’an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan.
Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan
sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang sebagaimana dilihat di atas para
filosof mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang
mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam ini
qadim.
Mengenai masalah kedua, pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks
ayat-ayat dalam al-Qur’an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu.
Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin”Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang
telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali”. Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat
tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur’an, yang adalah wahyu dari
Tuhan.
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
ada di alam, juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks
ayat dalam al-Qur’an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat Al-An’am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di dunia lslam bagian timur dengan
Baghdad sebagai pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di samping
pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk
mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman
Al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional
Mu’tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy’ari (873-935), yang pada
mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum
begitu jelas ia meninggalkan faham Mu’tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan
dari teologi Mu’tazilah, teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi
al-Asy’ari.
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu’tazilah, teologi Asy’ari bercorak tradisional.
Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut :
1.
Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah,
sehingga kaum Asy’ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka
tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran
ilmiah dan falsafi.
2.
Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini merupakan
manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum bisa berdiri
sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam
hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau fatalisme, yaitu percaya
kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3.
Pemikiran teologi al-Asy’ari bertitik tolak dari faham
kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak
mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam
dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian
bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya membakar , tetapi
biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi tradisional al-Asy’ari ini tidak mendorong pada berkembangnya
pemikiran ilmiah dan filosofis, sebagaimana halnya dengan teologi rasional
Mu’taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di
dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali
ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di
zaman Mu’tazilah dan filosof-filosof Islam.
Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam,
sebaliknya, pemikiran filosofis masih berkembang sesudah serangan a1-Ghazali
tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al- Wida’ kelihatannya
mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan
ma’rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan
pendapat Mu’tazilah, bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat
mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia
berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia
berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk
memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari
masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima
pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi
Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198 M) yang mengarang buku
Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia
uraikan dalam Tahafut al-Falasijah.
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan
dalam zaman, konsep AI-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam
zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam,
tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu
berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur’an.
Didalam al-Qur’an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada
sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu)
berada di atas air.
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan
bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula,
Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah
satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia’ mengatakan pula, Apakah
orang-orang yang tak percaya tidak melihat ‘ bahwa langit dan bumi (pada
mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup
dari air.
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari
unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali
bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa
pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur’an. Yang sesuai dengan
kandungan al-Qur’an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan
filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur’an, kata Ibn
Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari”tiada”, seperti yang dikatakan
al-Ghazali, tetapi dari”ada”, seperti yang dikatakan filosof-filosof. Ayat 12
dari surat al-Mu’minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari,
tanah. Manusia di dalam al-Qur’an diciptakan bukan dari”tiada” tetapi dari
sesuatu yang”ada”, yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas.
Falsafat memang tidak menerima konsep.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni
ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini
sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran
averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat falsafat benar
sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan
averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa.
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran
besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di
tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja
Ferdinand dari Castilia.
Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah
pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat.
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi’ah, teologi
tradisional al-Asy’ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk
mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an falsafat, terus
berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam
sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa
dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas,
berkembang di Barat atas pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut
averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh
pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad
Khan,dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar