Pages

Kamis, 23 Mei 2013

SANG DESAIN











Minggu, 12 Mei 2013

Ayat-ayat tentang Obyek Pendidikan


 1.    Obyek Pendidikan dalam Surat At-Tahrim Ayat 6
Dalam sebuah pendidikan tentunya terdapat ilmu pengetahuan, adanya tujuan pendidikan, subjek pendidikan, metode pengajaran dan tentunya terdapat objek pendidikan pula. Dalam objek pendidikan telah terserat dalam Al-Quran, yaitu dalam surat At-Tahrim ayat 6, Asy-Syu’araa ayat 214, At-Taubah ayat 122 dan An-Nisa ayat 170.
1.      QS. At-tahrim ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ  اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. ( QS. At-Tahrim : 6 )
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa فعل أمر yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz قوا (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min salahsatunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.
Dalam tafsir Jalalain proses penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah swt. Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga dirinya sendiri, serta keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggung jawabannya.
Sebagaimana “Dari Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda : Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya (HR. Bukhary-Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke enam ini turun, Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah SAW. menjawab: "Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.
Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala laranganNya. Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
Dilihat dari ayat itu sendiri terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang diperintah Allah SWT. Tafsiran: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Kesimpulan: ayat ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga, pelajaran dari Ayat tersebut :
1.    Perintah Taqwa Kepada Allah Swt Dan Berdakwah
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Api neraka disediakan bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat kepada Allah dan yang selalu berbuat maksiat.
Neraka adalah balasan setimpal bagi para pembuat kemungkaran, kemusyrikan dan kekacauan. Bahan bakar api neraka seperti dijelaskan dalam ayat diatas adalah manusia, sungguh mengerikan tidak dapat kita bayangkan manusia menjadi bahan bakar dan juga bahan bakarnya adalah batu, dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa batu yang dimaksud adalah batu yang sering dijadikan sesembahan oleh para musyrikin atau berhala.  Oleh karena itu kita diwajibkan oleh Allah untuk taat kepada-Nya supaya selamat daripada siksa-Nya. Caranya membina diri kita terlebih dahulu dalam mendalami akidah dan adab islam kemudian setelah kita mampu melaksanakan maka kita wajib mendakwahkan kepada yang lain yaitu orang-orang terdekat kita / keluarga yaitu orang tua, istri, anak, adik, kakak dan karib kerabat.
Kemudian jika sudah mapan kita berdakwah dengan mereka, maka kita dituntut untuk menyebarkan kepada pihak masyarakat setelah berhasil maka masyarakat itu dituntut menyebarkan dakwah seluas-luasnya keluar daerahnya. Dengan hal inilah kita akan menyebarkan sebagian dari rahmat-Nya (kasih sayang Allah) yaitu ajaran  islam yang penuh dengan keselamatan dan kedamaian. sebagaimana diijelaskan dengan firman-Nya:


وَ أَنذِرْ عَشِيرَتَك الأَقْرَبِينَ
Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu'ara': 214)
2.    Anjuran Menyelamatkan Diri Dan Keluarga Dari Api Neraka
Banyak sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan dijauhkan dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq baik, saling tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan shalat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
3.    Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini
Memang sudah menjadi fitrah dari setiap manusia yang sudah berkeluarga senantiasa mendambakan seorang anak. Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orang tualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya, namun mungkin banyak dari kita para orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil terjadi perkembangan potensi yang kelak akan berharga sebagai sumber daya manusia. Banyak orang tua “salah asuh” kepada anak sehingga perkembangan fisik yang cepat diera globalisasi ini tidak diiringi dengan perkembangan mental dan spiritual yang benar kepada anak sehingga banyak prilaku kenakalan-kenalakan oleh para Remaja.
Dalam lima tahun pertama seorang anak mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang. Pada usia ini 90% dari fisik otak anak sudah terbentuk. Karena itu, di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya mulai diarahkan. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati,
Anak pada usia 0 sampai 6 tahun bagian otak yang berfungsi hanyalah otak bagian kiri yang berperan menangkap apa-apa yang ada di sekitarnya (masa-masa membeo), sedangkan otak yang berperan sebagai penyaring (otak bagian kanan) belum berfungsi, ketika anak berusia 7-8 tahun otak bagian kanan baru mulai berfungsi, dan baru mampu membedakan mana yang boleh dan tidak, mana yang baik dan buruk. Maka sebagai orang tua yang ingin anaknya menjadi anak saleh maka tidak akan menyia-nyiakan masa ini (umur 5-9 tahun) untuk mengajari anak disiplin, tata pergaulan, rajin sholat dan mengaji, mengajari adab dan sopan santun, mengajari ilmu-ilmu terapan dsb. Karena bagi anak hal itu akan lebih mudah diserap daripada mengajari anak jika telah menginjak usia remaja hal itu tentu akan lebih sulit tak bahkan jarang orang tua akan menemukan pembangkangan dari anak, karena seperti pepatah “belajar diwaktu kecil seperti mengukir diatas batu dan masuknya ilmu semudah masuknya sesuatu kedalam air”, “belajar diwaktu dewasa seperti mengukir diatas air dan masuknya ilmu sesulit mengukir diatas batu.
4.    Keimanan Kepada Para Malaikat
Ayat diatas mengandung pelajaran keimanan kita kepada sifat para malaikat yang suci dari dosa dan tidak pernah membangkang apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Berbeda dengan manusia dan jin yang kadang taat kadang pula melanggar bahkan ada juga yang tidak pernah taat sama sekali atau selalu berbuat maksiat.
2.      QS. Asy-Syu’araa Ayat 214

وَ أَنذِرْ عَشِيرَتَك الأَقْرَبِينَ

Artinya : dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (QS. Asy –Syu’araa : 214)

Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat ( الأقربين ) mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi saw memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan.
Demikianlah menurut keterangan hadis yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim., namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthallib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh: ”...dengan umumnya lafadz, bukan dengan khususnya sebab”.
Dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215 yang artinya : ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. Asy-Syu’araa: 215). Jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat Islam.
            Asbab nuzul ayat ini, Ketika ayat ini turun Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bani Abdul Muthalib, demi Allah aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari apa yang kubawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka, siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan washiku serta khalifahku?” Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi Thalib.
Di antara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata: “Aku ya, Rasulullah Nabi. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu Rasulullah SAW memegang bahu Ali seraya bersabda: “Sesungguhnya Ali ini adalah saudaraku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”. Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “ Dari Jarir Ibn Abdillah ra. Berkata: Saya bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhory-Muslim). Maka kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah.
Ayat ini diturunkan pada awal kedatangan Islam ketika Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwahnya. Beliau mula-mula diperintahkan alloh agar menyeru keluarganya yang terdekat. Setelah itu secarab berangsur-angsur menyeru masyarakat sekitarnya, dan akhirnya kepada seluruh manusia.
Di sini jelas, perintah menjadikan keluarga terdekat terlebih dahulu dalam arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan akhirnya seluruh manusia.
3.      QS. At-Taubah ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya : tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah ayat 122)

            Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz فعل أمر yang disertai dengan لام أمر, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka memberi peringatan),yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.
Adapun proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau: ”Dan darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim).
Asbab Nuzulnya adalah Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan suatu kabilah di antara mereka beberapa orang beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni tetap tinggal di tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.
Kesimpulan: maka tidak sepatutnya seluruh kaum muslimin pergi berperang (jihad), namun harus ada juga yang harus belajar dan mengajar. Sebab proses tarbiyah sangat pentingbagi kukuhnya Islam. Rosul SAW bersabda (artinya): ”Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)” (HR. Syaikhani).
4.      QS. An-Nisaa ayat 170
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : Wahai manusia, Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, Itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah[382]. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. An-Nisaa : 170)

Allah yang mempunyai segala yang di langit dan di bumi tentu saja tidak berkehendak kepada siapapun karena itu tentu saja kekafiranmu tidak akan mendatangkan kerugian sedikitpun kepada-Nya. Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah, maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi SAW bersabda:”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW besabda: Sampaikanlah dariku walau satu ayat.....” (HR. Bukhori).

Kamis, 09 Mei 2013

Metode Demonstrasi

A.      Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berusaha tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (Makalah Kongres Budaya dan Bahasa Indonesia, 1996:14)

Sabtu, 30 Maret 2013

As sunnah pada zaman Khulafaur Rosyidin


A.    As sunnah pada zaman khulafaur rosyidin
As sunnah di masa khulafaur-rasyidin ini senantiasa menjadi bahan pembahasan dari waktu ke waktu karena kedudukannya yang agung di sisi Al Qur’an. Para sahabat pun sangat berhati-hati dalam menerima riwayat agar tidak salah dalam pemahaman dan pengamalan. Pernah terkisah Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Nabi saw bahwa, “Mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya”. Mendengar berita tersebut Ummul Mu’minin ‘Aisyah menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak mengambil hadits sebagaimana mestinya dan tidak pas lafadznya. Karena menurut kejadiannya memberitakan bahwa Rasulullah saw lewat pada jenazah seorang wanita Yahudi yang ditangisi oleh keluarganya, kemudian beliau bersabda, “Mereka menangisinya, sedangkan ia disiksa di dalam kuburnya”. Jadi siksa itu bukanlah karena tagisan keluarganya, dan siksa yang diterima setiap orang mati itu bukanlah disebabkan oleh tangisan, sebagaimana kesimpulan yang ditarik dari lafadz-lafadz hadits riwayat Ibnu Umar. Hadits tersebut -menurut riwayat ‘Aisyah- adalah berita suatu kasus yang kemudian disampaikan oleh Nabi saw sebagaimana yang beliau dengar dan lihat. Jadi hal tersebut tidak mengandung hukum tertentu bagi syari’at.
       I.            Keadaan politik pada masa itu
            Nabi Muhammad SAW selain menjadi kepala agama beliau juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di kota madinah, sebelum nya tidak ada kekuasaan politik di kota tersebut[1].
Beliau wafat tahun 632 M, nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam. Belum jenazah di makamkan umat islam masih di bingungkan denganpengganti beliau dalam memimpin umat islam dalam politik. Para sahabat memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak merasa berhak menjadipemimpin umat islam. Tapi pada akhirnya abu bakar lah yang terpilih.
Abu bakar menjadi khalifah hanya 2 tahun. Pada tahun 634 ia meninggal dunia. Masa secepat itu habis untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam negeri yaitu sikap menetang mereka dan tidak mau tunduk lagi terhadap pemerintahan madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah nabi wafat, akhirnya terjadi peperangan di kalangan umat islam sendiri yang disebut perang Riddah[2]. Dalam perang tersebut Khalid ibn al-walid yang paling berjasa.
Pada masa khalifah abu bakar sebagaimana masa rasulullah kekuasaan yang di jalankan bersifat sentral. Kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu bakar meninggal dunia, kemudian ia digantikan oleh tangan kanannyayakni umar bin khattab, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat kemudian mengangkat umar dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam.
Umar bin khattab menjadi khalifah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), di zaman beliau perluasan daerah terjadi pada tahun 635 M ibu kota syiria, damaskus jatuh di bawah kekuasaan islam setahun kemudian seluruh daerah syiria. Tahun 641 M ibu kota Mesir, Iskandaria dan mosul dekat Hirah di Iraq, begitu juga tahun 637 M Al-Qadisiyah, sebuah kota Al-Madain[3].
Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, maka umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh milik Persia. Pada masanya mulai di atur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka kepolisian di bentuk. Umar juga mendirikan Baitul Mal. Masa jabatannya berakhir dengan kematian, dia di bunuh oleh seorang budak yang bernama lu’luah. Untuk menemukan penggantinya, ia menunjuk 6 orang yaitu, Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad Ibn Abi Waqas Dan Abdur Rahman Bin ‘Auf. Untuk memilih salahsatu dari mereka. Akhirnya ustman terpilih dengan melalui persaingan yang agak ketat dari Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan ustman (644-655 M) wilayah ekspansi islam meliputi, Armenia , Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, yakni Transoxania dan Tabaristan. Beliau menjadi khalifah pada usia 70 tahun dan memimpinya selama 12 tahun. Pada akhir pemerintahannya, umat islam banyak yang kecewa dan tidak puas, sehingga pada tahun (35 H/ 655 M) penyebab meninggalnya ustman yakni dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri oleh orang-orang kecewa tersebut.
Salah satu pemicu terjadinya pembunuhan usman adalah beliau mengangkat kelarganya sendiri dalam kedudukan tinggi, diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan usman hanya menyandang gelar khalifah[4]. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, ustman laksana boneka di hadapan kerabatnya.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting. Ustman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota, dia juga membangun jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluar masjid nabi di Madinah.
Setelah ustman wafat, mayrakat berami-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah. Ali memerintah hanya 6 tahun, selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil, ali memecat para gubernur yang di angkat oleh ustman, dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena ketelledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang di hadiahkan ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system distribusi pajak tahunan diantara orang-orang islam sebagaimana pernah diterapkan umar.
Tidak lama setelah itu ali bin abi thalib menghadapi pemberontakan thalhah, zubair, dan Aisyah. Alasan mereka karena ali tidak mau menghukum para pembunuh ustman, ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Dia mengirim surat kepada thalhah dan zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara secara damai. Namun, ajakan tersebut akhirnya ditolak. Akhirnya pertempuran terjadi yang di kenal dengan sebutan perang jamal. Ali berhasil membunuh zubair dan thalhah sedangkan ‘aisyah di tawan dan di kirim kembali ke madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, muawwiyah. Ali bergerak dari kufah menuju Damaskus dengan sejumlah tentara besar. Pasukannya bertemu dengan pasukan muawwiyah di Shiffin, terjadi peperangan disini yang dikenal dengan nama, perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (Arbitrase) tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij. Akibatnya di ujung maa pemerintahan Ali umat islam terpecah menjadi 3 kekuatan politik, yaitu muawwiyah, syiah, dan khawarij. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan tentara ali semakin lemah, sementara posisi muawwiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramdhan 40 H, ali terbunuh oleh anggota khawarij.
Kedudukan ali kemudian di jabat oleh anaknya hasan selama beberapa bulan. Namun, karena hasan lemah sementara muawwiyah semakin kuat, maka hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini membuat umat islam menjadi satu di bawah kepemimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan dan dalam tahun tersebut di kenal sebagai tahun Jama’ah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut masa Khulafaur Rashidin
B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadis
Setelah nabi Muhammad SAW wafat (11 H = 632 M), kendali kepemimpinan umat islam berada ditangan sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al Khulafaur ar Rosyidun. Periwayatan hadis pada zaman sahabat ini dapat diklasifikasikan pada dua masa, yakni ; masa Khulafaur Rosyidin atau sahabat besar dan masa sesudah al Khulafaur ar Rosyidun atau sahabat kecil.
a.      Masa al Khulafaur ar Rosyidun
Pada masa pemerintahan al Khulafaur ar Rosyidun, periwayatan hadis semakin ketat.Hal ini dilakukan untuk menjaga hadis nabi dari usaha-usaha negatif orang-orang yang hendak memusuhi agama islam dan merusak ajarannya. Untuk mengantisipasi usaha mereka, khulafaur rosyidin mengambil beberapa tindakan, yaitu ;
1.      Membatasi dan Mereduksi periwayatan
Tindakan yang cukup menonjol pada masa awal pemerintahan Abu Bakar dan Umar adalah usaha mereka dalam membatasi periwayatan hadis. Mereka berusaha menjahui dan memperbanyak periwayatan dengan mendasarkannya pada hadis nabi ;
“wahai manusia jahuilah (olehmu) memperbanyak (periwayatan) hadis dariku barang siapa yang mengatakan (sesuatu) dengan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar.barang siapa yang berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya dineraka.”
Mereka memandang dengan banyaknya meriwayatkan hadis kemungkinan terjadinya kesalahan dan lupa sangat besar. Sahabat lain yang terkenal dalam hal ini adalah Abu Bakar, Imran bin Al husain, Abu Ubaidah, dan Al Abbas bin Abdul Al muthollib.
2.      Berhati-hati dan ketat dalam menerima dan menyampaikan hadis
Satu hal lagi yang menjadi ciri-ciri periwayatan pada masa ini yaitu mereka tidak segera menerima dan meriwayatkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, kecuali telah terbukti kebenarannya. Untuk membuktikan kebenaran ini, Abu Bakar meminta kepada periwayat untuk menghadirkan saksi, sedangkan Ali meminta kepada periwayat untuk bersumpah atas kebenaran hadis itu. Umar melakukan keduanya dengan maksud untuk berhati-hati.
3.      Melarang Periwayatan Hadis yang melampaui batas pemahaman umat
Langkah yang ditempuh oleh para sahabat ini adalah mewarisi cara nabi dalam menyampaikan ajarannya yaitu sangat memperhatikan kadar kemampuan dan pemahaman sahabat.
b.      Masa sesudah Al Khulafaur Ar Rosyidun
Periwayatan hadis pada masa sesudah Al Khulfaur Ar Rosyidun semakin banyak dan meluas. Hadis yang dimiliki para sahabat tidak seluruhnya langsung diterima dari nabi. Kadang mereka memperolehnya dari sahabat lain bahkan dari Tabi’in.
            Berhubung semakin meluasnya wilayah Islam dan tersebarnya para sahabat penerima dan saksi hadis, maka dalam masa ini mulai muncul kisah pengembaraan periwayat hadis untuk mendapatkan atau mencocokan satu hadis. Misalnya pengembaraan yang dilakukan oleh Abu Ayyub Al Ansariy dari daerah hijaz menuju ke Mesir untuk mencari sebuah hadis dari Uqbah bin Amir. Juga Jabbir bin Abd Allah yang mengadakan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Syam untuk mendapatkan hadis dari Abd Allah bin Unais tentang qisas.
Namun dalam kenyataannya periwayatan yang menyebar di antara mereka tetap berada pada dua jalur, yaitu ar riwayah bi al lafz dan ar riwayah bi al ma’na, karena pada dasaranya dua jenis periwayatan ini telah ada sejak masa nabi.
Walaupun para sahabat berusaha ketat untuk meriwayatkan hadis (menerima dan menyampaikan) sesuai dengan apa yang didengar dan diterima, tetapi Ar Riwayah Bi Al Ma’na semakin berkembang pula. Hal ini bisa dimaklumi karena jarak antara para periwayat dengan nabi sudah semakin jauh dan untuk mengingat lafal hadis sesuai dengan yang diterima sejak awal dirasakan cukup sulit. Kondisi diatas masih ditambah oleh fenomena belum terkodifikasikannya hadis dalam karya khusus dan telah meluasnya wilayah islam ke berbagai penjuru.
C.    Menolak Anggapan Seputar Metode Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadis
Al qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sejak turunnya telah ditulis oleh para sahabat, khususnya para penulis (al kuttab) nabi SAW. Mengingat pembacaan al qur’an dihitung sebagai ibadah, dan susunannya dianggap sebagai mukjizat, maka periwayatanya tidak boleh secara makna.  Lafal al qur’an harus terjaga sebagaimana awal turunnya, tidak boleh ditambah dan dikurangi, walaupun satu huruf, kata, bahkan kalimat.Tidak demikian yang terjadi pada hadis, pada awalnya penulisan hadis masih diperselisihkan oleh para sahabat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang.
Perlu ditegaskan bahwa hanya hadis-hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qouliyyah) yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal, dan ini pun sangat sulit dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain yang berupa perbuatan, taqrir dan hal ihwal nabi, diriwayatkan oleh sahabat dengan menggunakan ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan kesaksian masing-masing. Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwatan secara makna (ar riwayah bi al ma’na).
Secara garis besar pandangan ulama tentang ar riwayah bi al ma’na ini dikategorikan pada tiga macam, yaitu ; 1. Tidak boleh secara mutlak 2. Boleh secara mutlak dan 3. Boleh dengan syarat.
1.      Ulama yang tidak membolehkan Ar Riwayah Bi Al Ma’na
Abd Allah bin Umar, dia termasuk mutasyaddid dalam menjaga lafal hadis nabi, sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf  atau kata dan tidak pula mendahulukan atau tidak mengakhirkannya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali, dia berkata,” Ibnu Umar, jika mendengar hadis, dia tidak menambah atau mengurangi dan tidak pula meringkasnya.”
Dalam suatu riwayat, dia pernah menegur sahabat lain ‘Ubaid Allah bin Umair yang mengganti lafal asy syat al ‘airah (domba yang cacat) dengan lafal asy syat ar rabidah (domba yang lemah).
2.      Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua yaitu membolehkan ar riwayah bi al ma’na secara mutlak tanpa diiringi dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini termasuk golongan mutasahil dalam periwayatannya, berbeda dengan pendapat yang pertama yang sangat ketat atau mutasyaddid.
Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan kesembronoan dan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun demikian, praktik seperti ini telah ada dan berkembang. Periwayatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah Hasan al Basriy (w. 110), Asy sya’biy (w. 104), Ibrahim an Nakhaiy (w. 96).
3.      Membolehkan dengan menekankan pemenuhan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawassit) antara bentuk yang mutasyaddid dan mutasahil. Supaya periwayat tidak mengalami kesulitan dan merasakan keberatan dalam meriwayatkan hadis disebabkan oleh sangat ketatnya aturan-aturan dan tidak terlalu sembrono dan lengah disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada, maka gologan yang ketiga ini memberikan solusi dengan mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh periwayat ketika meriwayatkannya secara makna.
Selanjutnya, mereka menganggap bahwa ar riwayah bi al ma’na merupakan rukhsah bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.
Al Mawardiy mengatakan bahwa ar riwayah bi al ma’na di perbolehkan jika periwayat yang bersangkutan lupa lafalnya. Menurutnya ;
“Hadis itu mencakup lafal dan makna dan jika tidak mampu menyampaikan salah satunya, hendaknya disampaikan dengan yang lain. Dengan tidak menyampaikan apapun, seseorang dianggap menyembunyikan ilmu dan hukum. Namun jika tidak lupa, maka tidak boleh menyampaikannya selain dengan lafal yang didengar, karena kalam nabi mengandung fasahah, tidak seperti lainnya.”


[1] Teologi islam, Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: VI-Press),
[2] Sejarah peradaban islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Press 2010), hlm. 05
[3] Ibid-, hlm. 37
[4] Di kutib dari Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, (Bandung; CV Rusyda, 1987, cetakan pertama), hlm.62

Hermeneutika


A . Asal-usul dan Pengertian Hermeneutika
         Sebelum kita mendefinisikan hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes[1]. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[2] Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.
Sosok Hermes Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Hermes adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia,[3] sedangkan Hermeneutika  secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[4] Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[5] Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[6] Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[7]
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.[8]
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. [9]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
Sedangkan. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation)[10] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai:
1.   Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis).
2.   Hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3. Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4.   Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften).
5. Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding).
6. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan.
BSejarah Perkembangan Hermeneutika
Dalam sejarah perkembangan hermeneutika pada abad pertengahan. Hermeneutika dikatakan sebagai sebuah disiplin yang di perlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat ‘’perbedaan’’ pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah Eropa : Katolik sebagai pemegang status qou  dan Protestanisme sebagai pembawa gerbong pembaharuan. Di wilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman Kristiani ‘’lahir’’, bahwa Bibel mestinya selalu ditafsirkan dan di jelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang terlatih dan punya otoritas sacral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang di gawangi oleh Martin Luther, menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala memang sama berbulu, namun pendapat tentang apa yang disebut Bibel ‘’boleh’’ saja berbeda-beda. Manusia yang punya Iman dan mau membaca kitab suci lah yang berhak menafsirkan kandungannya. Inilah pengertian sola scriptura.[11]
Dalam risalah De doctrina Christiana, karangan Santo Agustinus, mengemukakan konsep-konsep penting menyangkut hubungan antara bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dala tradisi Kristen. Konsep tersebut adalah actus signatus dan actus exercitus. Kedua konsep ini lahir dari dua macam ‘’kata’’ yakni antara kata yang di ucapkan dan kata yang ada dalam pikiran. Ketika seseorang mengucapkan sebuah kata, saat itu yang dilakukannya adalah member tanda (actus signatus) terhadap apa yang dia maksudkan dalam pikirannya, buah pikiran yang ada dalam pikirannya tersusun dalam bentuk kata-kata batiniah. Kata-kata batiniah ini bentuknya sangat abstrak dan hanya bias di pahami dalam konteks yang juga bersifat batiniah, ketika ingin di ungkapkan keluar melalui ucapan, ketika itu yang di pilih adalah kata jasmani dan tindakan itu disebut actus signatus. Bagaimana memilih kata-kata batin tadi kemudian mengungkapkannya inilah yang disebut Agustinus dengan actus exercitus. Diri sendiri berusaha melakukan semacam penafsiran terhadap kata-kata batin dan kemudian ‘’menerjemahkannya‘’ ke dalam kata jasmani. Begitu pula keaadaannya jika orang lain (pendengar) ingin mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh pembicara/penulis lewat sebuah kata yang di ucapkannya, maka dia harus berusaha sampai kepada bentuk kata-kata yang ada dalam pikirannya dengan melakukan actus exercitu. 
A.    Hubungan antara hermeneutika dengan ilmu filsafat Bahasa
 Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra yang menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks karya sastra. Disamping hermeneutic harus bisa menyesuaikan diri dengan bahasa sebagai kupasan-kupasan linguistic, supaya tercipta aturan tatabahasa yang baik dan memudahkan langkah kerja hermeneutic dalam memberikan interpretasi dan pemahaman yang optimal terhadap tkes karya sastra.
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci). Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan. Pendekatan hermeneutic tidak mencari makna yang benar, melainkan mencari makna yang optimal. Dalam menginterpretasikannya, untuk menghindari keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas, pada umumnya dilakukan dengan gerak spiral. Penafsiran terjadi karena setiap objek memasang setiap horizon dan paradigma yang berbeda. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, menambah kualitas estetika, etika dan logika.
Metode penerapannya Menurut Paul Ricoeur perlu dilakukannya distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut:
 a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
 b.  Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
 c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
 d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
 e.  Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
 f.   Menurut Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Hermeneutik Salah satu bagian yang perlu lebih jauh dijelaskan dalam skema di atas adalah soal simbolisasi ujar Ricour. Teks, yang tidak lain adalah formulasi bahasa, adalah kumpulan penanda yang sangat kompleks. Saussure mendikotomikan bahasa sebagai penanda (citra akustis, bunyi) versus petanda (konsep). Bahasa adalah lambang yang paling kompleks dibandingkan dengan berbagai hal lain di masyarakat. Dalam kaitan dengan hermeneutika, Ricoeur kemudian menyebut metafora (pengalihan nama, perbandingan langsung, perlambangan) sebagai bagian penting untuk dibahas dalam hermeneutika. Pemahaman atas teks, menurut Ricoeur, niscaya akan berlanjut kepada pemahaman tentang metafora.
Plus minusnya. Kekurangan teori ini adalah objektifitas teori ini diragukan karena terjadi subjektifitas penafsir/interpreter. Maka peran interpreter sangat urgen sekali dalam memberi makna dan pemahaman terhadap teks, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Menurut Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Kelebihan teori ini ialah memberikan interpretasi terhadap kajian dalam teks sastra secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis).


[1][1] Di kutib oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer: di dalam literatur-litelatur pengantar hermeneutika yang banyak beredar, sering dinyatakan bahwa katahermeneutika berkaitan dengan kata ‘’Hermes’’ nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam. Namun, sejauh pelacakan P. Chantraine, pengarang kamus Dictionnaire etymologique de la langue grecque, nama Hermes ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan seni (ermeneutike). Lihat Jean Grondin,  Sources of Hermeneutics (New York: SUNY Press 1995), hlm. 21 (catatan kaki no. 8)
[3]  Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Ibid 
[4] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 14
[6] Richard E. Palmer, op.cit., h. 15.
[7]  Ibid
[8]  Lihat ibid., h. 15-16.
[9]Http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.
[10] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 3.,
[11] Inyiak Ridwan Muzir,  Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA Cet. II , November 2010, hlm. 67