Di dalam mengutarakan isi hati atau
menyampaikan sesuatu atau unek-unek yang ada dalam pikiran itu terdapat
cara-cara untuk mengungkapkannya. Dalam hal ini terdapat tiga cara, yaitu :
1.
Musawah
Musawah adalah pengungkapan kalimat yang
maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-katanya sesuai dengan
luasnya makna yang dikehendaki, tidak ada penambahan atau pengurangan.
Ÿ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ
"Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa
selain orang yang merencanakannya sendiri." (QS. Faathir: 43)
"Zaid pergi ke Surabaya untuk berbelanja
kitab."
Bila kita perhatikan dalam contoh di atas,
kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan seandainya kita
tambahi satu kata saja, niscaya tampak ada kelebihan dan bila kita kurangi satu
kata saja, niscaya akan tampak berkurang maknanya.
Jadi,
kata-kata yang tersusun dalam setiap contoh di atas sama dengan
banyaknya makna. Oleh karena itu, pengungkapan kalimat yang demikian disebut
sebagai musawah. Dan al-musawah ini merupakan gaya bahasa yang pokok dan
menjadi ukuran.
2.
Ijaz
Ijaz adalah mengumpulkan makna yang banyak
dalam kata-kata yang sedikit dengan jelas dan fasih. Ijaz dibagi menjadi dua:
a. Ijaz Qishor, yaitu ijaz dengan cara menggunakan ungkapan yang pendek,
namun mengandung banyak makna, tanpa disertai pembuangan beberapa kata/kalimat.
Contoh : Rosulullah SAW. bersabda :
الضعيف أمير الرَّكْب
“Orang yang lemah itu penguasa suatu rombongan.”
Contoh ini merupakan simbol balaghoh dan
keindahan. Kalimat ini mencakup sopan santun dalam perjalanan dan keharusan
memperhatikan nasib orang lemah.
Allah SWT. berfirman :
أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
“Mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan.” (QS. Al-An’am: 82).
Pada ayat ini dinamakan ijaz qishar karena
kata “al-amnu” mencakup seluruh hal yang menyenangkan, termasuk bebas
dari ketakutan fakir, mati, penganiayaan, hilangnya kenikmatan, dan dari
hal-hal menakutkan lainnya.
b. Ijaz Hadzf, yaitu ijaz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat
dengan syarat ada karinah yang menunjukkan adanya lafadz yang dibuang tersebut.
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
“ Dan datanglah
Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr: 22)
Dalam ayat ini, terdapat sebagian kata yang
dibuang, sebab diperkirakan asal kalimatnya adalah وجاء أمر ربك
3.
Ithnab
Ithnab adalah bertambahnya lafadz dalam
suatu kalimat melebihi makna kalimat tersebut karena suatu hal yang berfaedah.
Teknik
ithnab banyak sekali, di antaranya adalah :
a. Dzikrul khash ba’dal ‘am yaitu menyebutkan lafadz yang khusus setelah
lafadz yang umum. Hal ini berfaedah untuk menunjukkan kelebihan sesuatu yang
khas.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
“Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril.”(QS. Al-Qadr: 4)
Lafadz “ar-ruh” dalam contoh di atas
merupakan lafadz tambahan karena maknanya tercakup oleh lafad sebelumnya, yaitu
lafadz “al-malaa-ikatu”.
Dalam ayat tersebut, Allah secara khusus
menyebut Ar-Ruuh, yakni Jibril, padahal ia telah tercakup dalam keumuman
malaikat. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan bagi Jibril,
seakan-akan ia dari jenis lain.
b. Dzikrul ‘am ba’dal khash yaitu menyebutkan lafadz yang umu setelah
lafadz yang khusus. Berfaedah untuk menunjukkan ketercakupan lafadz yang khusus
ke dalam lafadz yang umum dengan member perhatian khusus kepada sesuatu yang
khusus karena disebut dua kali.
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ya Tuhanku! ampunilah
aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang
yang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan lafadz
“al-mu’miniin wal mu’minaat”, yang keduanya lafadz umum, mencakup orang-orang
yang disebut pada lafadz-lafadz sebelumnya.
c. Al-Idhah ba’dal ibham yaitu menyebutkan lafadz yang jelas meknanya
setelah menyebutkan lafadz yang maknanya tidak jelas. Berfaedah untuk
mempertegas makna dalam perhatian pendengar dengan disebutkan dua kali, pertama
secara samar, dan kedua dengan tegas..
وَقَضَيْنَا إِلَيْهِ ذَٰلِكَ الْأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَٰؤُلَاءِ مَقْطُوعٌ مُصْبِحِينَ
“Dan Telah kami
wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis
di waktu subuh.” QS. Al-Hijr: 66)
Firman Allah “Anna daabira haa-ulaa-I maqthuu’un
musgihiin” merupan penjelasan bagi lafadz “al-amr” yang disebut sebelumnya.
d. Tikrar yaitu mengulangi penyebutan suatu lafadz. Cara ini berfaedah
untuk menegaskan dan memantapkan maknanya di hati pendengar dan juga bisa
berfaedah untuk tahassus (menampakkan kesediahan)
e. I’tiradh yaitu memasukkan anak kalimat ke tengah-tengah suatu kalimat
atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki
kedudukan dalam I’rab. Cara ini berfaedah untuk meningkatkan kebalighan suatu
kalimat. Bisa juga untuk tanzih (membersihkan) dan untuk doa.
إنى وقاك الله مارض
“Sesungguhnya aku –
semoga Allah memeliharamu – adalah sedang sakit.”
f. Tadzyiil yaitu mengiringi suatu kalimat dengan kelimat lain yang
mencakup maknanya. Dan hal ini berfaedah sebagai taukid. Tadzyiil itu ada dua
macam :
1. Jaarin majral mitsl (berlaku sebagai contoh) bila kalimat yang
ditambahkan itu maknanya mandiri, tidak membutuhkan kalimat pertama.
2. Ghairu jaarin mitsl (bila kalimat kedua itu tidak dapat lepas dari
kalimat pertama).
g. Ihtiras (penjagaan), yaitu bila si pembicara menyampaikan suatu kalimat
yang memungkinkan timbulnya kesalahpahamn, maka hendaklah ia tambahkan lafadz
atau kalimat untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar