Kamis, 23 Mei 2013
Minggu, 12 Mei 2013
Ayat-ayat tentang Obyek Pendidikan
1.
Obyek Pendidikan dalam Surat At-Tahrim Ayat 6
Dalam
sebuah pendidikan tentunya terdapat ilmu pengetahuan, adanya tujuan pendidikan,
subjek pendidikan, metode pengajaran dan tentunya terdapat objek pendidikan
pula. Dalam objek pendidikan telah terserat dalam Al-Quran, yaitu dalam surat
At-Tahrim ayat 6, Asy-Syu’araa ayat 214, At-Taubah ayat 122 dan An-Nisa ayat
170.
1.
QS.
At-tahrim ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. ( QS. At-Tahrim : 6 )
Dalam ayat ini terdapat lafadz
perintah berupa فعل أمر yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz قوا
(peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min
salahsatunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.
Dalam
tafsir Jalalain proses penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah
taat kepada Allah swt. Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga
dirinya sendiri, serta keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggung jawabannya.
Sebagaimana
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda : Setiap
dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan
ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya (HR. Bukhary-Muslim).
Diriwayatkan
bahwa ketika ayat ke enam ini turun, Umar berkata: "Wahai Rasulullah, kami
sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah
SAW. menjawab: "Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang
mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan
kepadamu melakukannya. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka.
Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah
sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam
neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.
Maka
jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga
keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT,
tentunya harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala
laranganNya. Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan
syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
Dilihat
dari ayat itu sendiri terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa
manusia diharapkan seperti prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang
diperintah Allah SWT. Tafsiran: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada
kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan
lidahnya, meskipun hatinya tidak.
Kesimpulan:
ayat ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka
dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga, pelajaran dari Ayat
tersebut :
1.
Perintah Taqwa Kepada Allah Swt Dan Berdakwah
Dalam
ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari
api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan
patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya
taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api
neraka. Api neraka disediakan bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat
kepada Allah dan yang selalu berbuat maksiat.
Neraka
adalah balasan setimpal bagi para pembuat kemungkaran, kemusyrikan dan
kekacauan. Bahan bakar api neraka seperti dijelaskan dalam ayat diatas adalah
manusia, sungguh mengerikan tidak dapat kita bayangkan manusia menjadi bahan
bakar dan juga bahan bakarnya adalah batu, dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan
bahwa batu yang dimaksud adalah batu yang sering dijadikan sesembahan oleh para
musyrikin atau berhala. Oleh karena itu
kita diwajibkan oleh Allah untuk taat kepada-Nya supaya selamat daripada siksa-Nya.
Caranya membina diri kita terlebih dahulu dalam mendalami akidah dan adab islam
kemudian setelah kita mampu melaksanakan maka kita wajib mendakwahkan kepada
yang lain yaitu orang-orang terdekat kita / keluarga yaitu orang tua, istri,
anak, adik, kakak dan karib kerabat.
Kemudian
jika sudah mapan kita berdakwah dengan mereka, maka kita dituntut untuk
menyebarkan kepada pihak masyarakat setelah berhasil maka masyarakat itu
dituntut menyebarkan dakwah seluas-luasnya keluar daerahnya. Dengan hal inilah
kita akan menyebarkan sebagian dari rahmat-Nya (kasih sayang Allah) yaitu
ajaran islam yang penuh dengan
keselamatan dan kedamaian. sebagaimana diijelaskan dengan firman-Nya:
وَ أَنذِرْ عَشِيرَتَك الأَقْرَبِينَ
Artinya: Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu'ara':
214)
2.
Anjuran Menyelamatkan Diri Dan Keluarga Dari Api Neraka
Banyak
sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan dijauhkan dari
api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq baik, saling tolong
menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara cara menyelamatkan diri dari
api neraka itu ialah mendirikan shalat dan bersabar, sebagaimana firman Allah
SWT.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Artinya: Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu
mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
3.
Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini
Memang
sudah menjadi fitrah dari setiap manusia yang sudah berkeluarga senantiasa mendambakan
seorang anak. Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orang tualah
anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya, namun mungkin banyak dari kita
para orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil
terjadi perkembangan potensi yang kelak akan berharga sebagai sumber daya
manusia. Banyak orang tua “salah asuh” kepada anak sehingga perkembangan fisik
yang cepat diera globalisasi ini tidak diiringi dengan perkembangan mental dan
spiritual yang benar kepada anak sehingga banyak prilaku kenakalan-kenalakan
oleh para Remaja.
Dalam
lima tahun pertama seorang anak mempunyai potensi yang sangat besar untuk
berkembang. Pada usia ini 90% dari fisik otak anak sudah terbentuk. Karena itu,
di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya mulai diarahkan. Karena saat-saat
keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita
harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah
hati,
Anak
pada usia 0 sampai 6 tahun bagian otak yang berfungsi hanyalah otak bagian kiri
yang berperan menangkap apa-apa yang ada di sekitarnya (masa-masa membeo),
sedangkan otak yang berperan sebagai penyaring (otak bagian kanan) belum
berfungsi, ketika anak berusia 7-8 tahun otak bagian kanan baru mulai
berfungsi, dan baru mampu membedakan mana yang boleh dan tidak, mana yang baik
dan buruk. Maka sebagai orang tua yang ingin anaknya menjadi anak saleh maka
tidak akan menyia-nyiakan masa ini (umur 5-9 tahun) untuk mengajari anak
disiplin, tata pergaulan, rajin sholat dan mengaji, mengajari adab dan sopan
santun, mengajari ilmu-ilmu terapan dsb. Karena bagi anak hal itu akan lebih
mudah diserap daripada mengajari anak jika telah menginjak usia remaja hal itu
tentu akan lebih sulit tak bahkan jarang orang tua akan menemukan pembangkangan
dari anak, karena seperti pepatah “belajar diwaktu kecil seperti mengukir
diatas batu dan masuknya ilmu semudah masuknya sesuatu kedalam air”, “belajar
diwaktu dewasa seperti mengukir diatas air dan masuknya ilmu sesulit mengukir
diatas batu.
4.
Keimanan Kepada Para Malaikat
Ayat
diatas mengandung pelajaran keimanan kita kepada sifat para malaikat yang suci
dari dosa dan tidak pernah membangkang apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Berbeda dengan manusia dan jin yang kadang taat kadang pula melanggar bahkan
ada juga yang tidak pernah taat sama sekali atau selalu berbuat maksiat.
2.
QS.
Asy-Syu’araa Ayat 214
وَ أَنذِرْ عَشِيرَتَك الأَقْرَبِينَ
Artinya : dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (QS. Asy –Syu’araa :
214)
Sesuai
dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung
dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang
objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat ( الأقربين ) mereka
adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi saw memberikan peringatan
kepada mereka secara terang-terangan.
Demikianlah
menurut keterangan hadis yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim., namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani
Hasyim dan Muthallib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah
ushul fiqh: ”...dengan umumnya lafadz, bukan dengan khususnya sebab”.
Dilihat
dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215 yang artinya : ”Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman” (QS. Asy-Syu’araa: 215). Jadi perintah ini juga
berlaku untuk seluruh umat Islam.
Asbab nuzul ayat ini, Ketika ayat
ini turun Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Bani Abdul Muthalib, demi Allah
aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari
apa yang kubawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan
akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka, siapakah di antara
kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan
washiku serta khalifahku?” Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi
Thalib.
Di
antara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata: “Aku
ya, Rasulullah Nabi. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu
Rasulullah SAW memegang bahu Ali seraya bersabda: “Sesungguhnya Ali ini
adalah saudaraku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu,
dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata
kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”. Umat
Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “ Dari Jarir Ibn Abdillah ra. Berkata: Saya
bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk mendirikan sholat, menunaikan
zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhory-Muslim). Maka
kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah.
Ayat
ini diturunkan pada awal kedatangan Islam ketika Nabi Muhammad mulai
melaksanakan dakwahnya. Beliau mula-mula diperintahkan alloh agar menyeru keluarganya
yang terdekat. Setelah itu secarab berangsur-angsur menyeru masyarakat
sekitarnya, dan akhirnya kepada seluruh manusia.
Di
sini jelas, perintah menjadikan keluarga terdekat terlebih dahulu dalam arti
sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan akhirnya
seluruh manusia.
3.
QS.
At-Taubah ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya : tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (QS. At-Taubah ayat 122)
Dalam ayat ini juga terdapat dua
lafadz فعل أمر yang disertai dengan لام أمر, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu
agama) dan lafadz (supaya mereka memberi peringatan),yang berarti kewajiban
untuk belajar dan mengajar.
Adapun
proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau: ”Dan
darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: Barangsiapa
yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya
tidak dikurangi sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim).
Asbab
Nuzulnya adalah Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke
medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka
berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka
turunlah firman-Nya berikut ini: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin
itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
suatu kabilah di antara mereka beberapa orang beberapa golongan saja kemudian
sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni
tetap tinggal di tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan
mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan
dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini
penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu
dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya
yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut
berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi
saw. berangkat ke suatu ghazwah.
Kesimpulan:
maka tidak sepatutnya seluruh kaum muslimin pergi berperang (jihad), namun
harus ada juga yang harus belajar dan mengajar. Sebab proses tarbiyah sangat
pentingbagi kukuhnya Islam. Rosul SAW bersabda (artinya): ”Di hari kiamat
kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan
darah para syuhada (yang gugur di medan perang)” (HR. Syaikhani).
4.
QS.
An-Nisaa ayat 170
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ
فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya : Wahai
manusia, Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, Itulah yang lebih baik
bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah
sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah[382]. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS.
An-Nisaa : 170)
Allah
yang mempunyai segala yang di langit dan di bumi tentu saja tidak berkehendak
kepada siapapun karena itu tentu saja kekafiranmu tidak akan mendatangkan
kerugian sedikitpun kepada-Nya. Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia
untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk
membawa syari’at yang benar.
Dalam tafsir
disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli
kafir Mekah. Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,
maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya
dengan jalan yang baik.
Nabi
SAW bersabda:”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya
Nabi SAW besabda: Sampaikanlah dariku walau satu ayat.....” (HR. Bukhori).
Kamis, 09 Mei 2013
Metode Demonstrasi
A. Pengertian
Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan orang atau
makhluk hidup belajar. Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian
atau ilmu, berusaha tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman
(Makalah Kongres Budaya dan Bahasa Indonesia, 1996:14)
Sabtu, 30 Maret 2013
As sunnah pada zaman Khulafaur Rosyidin
A. As sunnah pada zaman khulafaur rosyidin
As
sunnah di masa khulafaur-rasyidin ini senantiasa menjadi bahan pembahasan dari
waktu ke waktu karena kedudukannya yang agung di sisi Al Qur’an. Para sahabat
pun sangat berhati-hati dalam menerima riwayat agar tidak salah dalam pemahaman
dan pengamalan. Pernah terkisah Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Nabi saw
bahwa, “Mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya”. Mendengar berita
tersebut Ummul Mu’minin ‘Aisyah menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak mengambil
hadits sebagaimana mestinya dan tidak pas lafadznya. Karena menurut kejadiannya
memberitakan bahwa Rasulullah saw lewat pada jenazah seorang wanita Yahudi yang
ditangisi oleh keluarganya, kemudian beliau bersabda, “Mereka menangisinya,
sedangkan ia disiksa di dalam kuburnya”. Jadi siksa itu bukanlah karena tagisan
keluarganya, dan siksa yang diterima setiap orang mati itu bukanlah disebabkan
oleh tangisan, sebagaimana kesimpulan yang ditarik dari lafadz-lafadz hadits
riwayat Ibnu Umar. Hadits tersebut -menurut riwayat ‘Aisyah- adalah berita
suatu kasus yang kemudian disampaikan oleh Nabi saw sebagaimana yang beliau
dengar dan lihat. Jadi hal tersebut tidak mengandung hukum tertentu bagi
syari’at.
I.
Keadaan
politik pada masa itu
Nabi
Muhammad SAW selain menjadi kepala agama beliau juga menjadi kepala pemerintahan.
Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di kota madinah,
sebelum nya tidak ada kekuasaan politik di kota tersebut[1].
Beliau wafat tahun 632 M, nabi
Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan
beliau sebagai pemimpin politik umat islam. Belum jenazah di makamkan umat
islam masih di bingungkan denganpengganti beliau dalam memimpin umat islam
dalam politik. Para sahabat memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi
pemimpin. Musyawarah berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak merasa
berhak menjadipemimpin umat islam. Tapi pada akhirnya abu bakar lah yang
terpilih.
Abu bakar menjadi khalifah hanya 2
tahun. Pada tahun 634 ia meninggal dunia. Masa secepat itu habis untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dalam negeri yaitu sikap menetang mereka dan
tidak mau tunduk lagi terhadap pemerintahan madinah. Mereka menganggap, bahwa
perjanjian yang dibuat nabi Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah nabi
wafat, akhirnya terjadi peperangan di kalangan umat islam sendiri yang disebut
perang Riddah[2].
Dalam perang tersebut Khalid ibn al-walid yang paling berjasa.
Pada masa khalifah abu bakar
sebagaimana masa rasulullah kekuasaan yang di jalankan bersifat sentral.
Kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.
Abu bakar meninggal dunia, kemudian ia digantikan oleh tangan kanannyayakni
umar bin khattab, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat kemudian
mengangkat umar dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam.
Umar bin khattab menjadi khalifah
selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), di zaman beliau perluasan daerah terjadi
pada tahun 635 M ibu kota syiria, damaskus jatuh di bawah kekuasaan islam
setahun kemudian seluruh daerah syiria. Tahun 641 M ibu kota Mesir, Iskandaria dan
mosul dekat Hirah di Iraq, begitu juga tahun 637 M Al-Qadisiyah, sebuah kota Al-Madain[3].
Karena perluasan daerah terjadi
begitu cepat, maka umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh
milik Persia. Pada masanya mulai di atur dan ditertibkan system pembayaran gaji
dan pajak tanah, untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka kepolisian di
bentuk. Umar juga mendirikan Baitul Mal. Masa jabatannya berakhir dengan
kematian, dia di bunuh oleh seorang budak yang bernama lu’luah. Untuk menemukan
penggantinya, ia menunjuk 6 orang yaitu, Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad Ibn
Abi Waqas Dan Abdur Rahman Bin ‘Auf. Untuk memilih salahsatu dari mereka.
Akhirnya ustman terpilih dengan melalui persaingan yang agak ketat dari Ali bin
Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan ustman
(644-655 M) wilayah ekspansi islam meliputi, Armenia , Tunisia, Cyprus, Rhodes,
dan bagian yang tersisa dari Persia, yakni Transoxania dan Tabaristan. Beliau
menjadi khalifah pada usia 70 tahun dan memimpinya selama 12 tahun. Pada akhir
pemerintahannya, umat islam banyak yang kecewa dan tidak puas, sehingga pada
tahun (35 H/ 655 M) penyebab meninggalnya ustman yakni dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri oleh orang-orang kecewa tersebut.
Salah satu pemicu terjadinya
pembunuhan usman adalah beliau mengangkat kelarganya sendiri dalam kedudukan
tinggi, diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya yang
menjalankan pemerintahan, sedangkan usman hanya menyandang gelar khalifah[4].
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting,
ustman laksana boneka di hadapan kerabatnya.
Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan penting. Ustman berjasa
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian
air ke kota-kota, dia juga membangun jembatan-jembatan, masjid-masjid dan
memperluar masjid nabi di Madinah.
Setelah ustman wafat, mayrakat
berami-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai kholifah. Ali memerintah hanya
6 tahun, selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak
ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil, ali
memecat para gubernur yang di angkat oleh ustman, dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena ketelledoran mereka. Dia juga
menarik kembali tanah yang di hadiahkan ustman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system
distribusi pajak tahunan diantara orang-orang islam sebagaimana pernah
diterapkan umar.
Tidak lama setelah itu ali bin abi
thalib menghadapi pemberontakan thalhah, zubair, dan Aisyah. Alasan mereka
karena ali tidak mau menghukum para pembunuh ustman, ali sebenarnya ingin
menghindari peperangan. Dia mengirim surat kepada thalhah dan zubair agar
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara secara damai. Namun, ajakan
tersebut akhirnya ditolak. Akhirnya pertempuran terjadi yang di kenal dengan
sebutan perang jamal. Ali berhasil membunuh zubair dan thalhah sedangkan
‘aisyah di tawan dan di kirim kembali ke madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijakan-kebijakan ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur
di Damaskus, muawwiyah. Ali bergerak dari kufah menuju Damaskus dengan sejumlah
tentara besar. Pasukannya bertemu dengan pasukan muawwiyah di Shiffin, terjadi
peperangan disini yang dikenal dengan nama, perang Shiffin. Perang ini di
akhiri dengan tahkim (Arbitrase) tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan
masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij. Akibatnya
di ujung maa pemerintahan Ali umat islam terpecah menjadi 3 kekuatan politik,
yaitu muawwiyah, syiah, dan khawarij. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan
tentara ali semakin lemah, sementara posisi muawwiyah semakin kuat. Pada
tanggal 20 ramdhan 40 H, ali terbunuh oleh anggota khawarij.
Kedudukan ali kemudian di jabat
oleh anaknya hasan selama beberapa bulan. Namun, karena hasan lemah sementara
muawwiyah semakin kuat, maka hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini
membuat umat islam menjadi satu di bawah kepemimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan
dan dalam tahun tersebut di kenal sebagai tahun Jama’ah. Dengan demikian
berakhirlah apa yang disebut masa Khulafaur Rashidin
B. Metode
Sahabat dalam meriwayatkan Hadis
Setelah
nabi Muhammad SAW wafat (11 H = 632 M), kendali kepemimpinan umat islam berada
ditangan sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al Khulafaur ar Rosyidun.
Periwayatan hadis pada zaman sahabat ini dapat diklasifikasikan pada dua masa,
yakni ; masa Khulafaur Rosyidin atau sahabat besar dan masa sesudah al
Khulafaur ar Rosyidun atau sahabat kecil.
a. Masa al
Khulafaur ar Rosyidun
Pada masa pemerintahan al Khulafaur ar Rosyidun,
periwayatan hadis semakin ketat.Hal ini dilakukan untuk menjaga hadis nabi dari
usaha-usaha negatif orang-orang yang hendak memusuhi agama islam dan merusak
ajarannya. Untuk mengantisipasi usaha mereka, khulafaur rosyidin
mengambil beberapa tindakan, yaitu ;
1.
Membatasi dan Mereduksi periwayatan
Tindakan yang cukup menonjol pada masa awal
pemerintahan Abu Bakar dan Umar adalah usaha mereka dalam membatasi periwayatan
hadis. Mereka berusaha menjahui dan memperbanyak periwayatan dengan
mendasarkannya pada hadis nabi ;
“wahai manusia jahuilah (olehmu) memperbanyak
(periwayatan) hadis dariku barang siapa yang mengatakan (sesuatu) dengan
menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar.barang siapa yang
berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan maka hendaklah ia
menyiapkan tempatnya dineraka.”
Mereka memandang dengan banyaknya meriwayatkan
hadis kemungkinan terjadinya kesalahan dan lupa sangat besar. Sahabat lain yang
terkenal dalam hal ini adalah Abu Bakar, Imran bin Al husain, Abu Ubaidah, dan
Al Abbas bin Abdul Al muthollib.
2.
Berhati-hati dan ketat dalam menerima dan
menyampaikan hadis
Satu hal lagi yang menjadi ciri-ciri
periwayatan pada masa ini yaitu mereka tidak segera menerima dan meriwayatkan
hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, kecuali telah terbukti
kebenarannya. Untuk membuktikan kebenaran ini, Abu Bakar meminta kepada
periwayat untuk menghadirkan saksi, sedangkan Ali meminta kepada periwayat
untuk bersumpah atas kebenaran hadis itu. Umar melakukan keduanya dengan maksud
untuk berhati-hati.
3.
Melarang Periwayatan Hadis yang melampaui batas
pemahaman umat
Langkah yang ditempuh oleh para sahabat ini
adalah mewarisi cara nabi dalam menyampaikan ajarannya yaitu sangat
memperhatikan kadar kemampuan dan pemahaman sahabat.
b. Masa
sesudah Al Khulafaur Ar Rosyidun
Periwayatan
hadis pada masa sesudah Al Khulfaur Ar Rosyidun semakin banyak dan
meluas. Hadis yang dimiliki para sahabat tidak seluruhnya langsung diterima
dari nabi. Kadang mereka memperolehnya dari sahabat lain bahkan dari Tabi’in.
Berhubung
semakin meluasnya wilayah Islam dan tersebarnya para sahabat penerima dan saksi
hadis, maka dalam masa ini mulai muncul kisah pengembaraan periwayat hadis
untuk mendapatkan atau mencocokan satu hadis. Misalnya pengembaraan yang
dilakukan oleh Abu Ayyub Al Ansariy dari daerah hijaz menuju ke Mesir untuk
mencari sebuah hadis dari Uqbah bin Amir. Juga Jabbir bin Abd Allah yang
mengadakan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Syam untuk mendapatkan
hadis dari Abd Allah bin Unais tentang qisas.
Namun
dalam kenyataannya periwayatan yang menyebar di antara mereka tetap berada pada
dua jalur, yaitu ar riwayah bi al lafz dan ar riwayah bi al ma’na,
karena pada dasaranya dua jenis periwayatan ini telah ada sejak masa nabi.
Walaupun
para sahabat berusaha ketat untuk meriwayatkan hadis (menerima dan
menyampaikan) sesuai dengan apa yang didengar dan diterima, tetapi Ar
Riwayah Bi Al Ma’na semakin berkembang pula. Hal ini bisa dimaklumi
karena jarak antara para periwayat dengan nabi sudah semakin jauh dan untuk
mengingat lafal hadis sesuai dengan yang diterima sejak awal dirasakan cukup
sulit. Kondisi diatas masih ditambah oleh fenomena belum terkodifikasikannya
hadis dalam karya khusus dan telah meluasnya wilayah islam ke berbagai penjuru.
C. Menolak
Anggapan Seputar Metode Sahabat Dalam Meriwayatkan Hadis
Al
qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
sejak turunnya telah ditulis oleh para sahabat, khususnya para penulis (al
kuttab) nabi SAW. Mengingat pembacaan al qur’an dihitung sebagai ibadah, dan
susunannya dianggap sebagai mukjizat, maka periwayatanya tidak boleh secara
makna. Lafal al qur’an harus terjaga
sebagaimana awal turunnya, tidak boleh ditambah dan dikurangi, walaupun satu
huruf, kata, bahkan kalimat.Tidak demikian yang terjadi pada hadis, pada
awalnya penulisan hadis masih diperselisihkan oleh para sahabat. Ada yang
membolehkan dan ada pula yang melarang.
Perlu
ditegaskan bahwa hanya hadis-hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qouliyyah)
yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal, dan ini pun sangat sulit dilakukan
kecuali untuk sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain
yang berupa perbuatan, taqrir dan hal ihwal nabi, diriwayatkan oleh
sahabat dengan menggunakan ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan
kesaksian masing-masing. Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwatan
secara makna (ar riwayah bi al ma’na).
Secara
garis besar pandangan ulama tentang ar riwayah bi al ma’na ini dikategorikan
pada tiga macam, yaitu ; 1. Tidak boleh secara mutlak 2. Boleh secara mutlak
dan 3. Boleh dengan syarat.
1. Ulama
yang tidak membolehkan Ar Riwayah Bi Al Ma’na
Abd
Allah bin Umar, dia termasuk mutasyaddid dalam menjaga lafal hadis nabi,
sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf atau kata dan tidak pula mendahulukan atau
tidak mengakhirkannya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ali, dia berkata,” Ibnu
Umar, jika mendengar hadis, dia tidak menambah atau mengurangi dan tidak pula
meringkasnya.”
Dalam
suatu riwayat, dia pernah menegur sahabat lain ‘Ubaid Allah bin Umair yang
mengganti lafal asy syat al ‘airah (domba yang cacat) dengan lafal asy
syat ar rabidah (domba yang lemah).
2. Membolehkan
secara mutlak
Pendapat
yang kedua yaitu membolehkan ar riwayah bi al ma’na secara mutlak tanpa
diiringi dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini termasuk golongan mutasahil
dalam periwayatannya, berbeda dengan pendapat yang pertama yang sangat ketat
atau mutasyaddid.
Pendapat
ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan kesembronoan dan ketidak
hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang
menyebabkan perubahan makna. Namun demikian, praktik seperti ini telah ada dan
berkembang. Periwayatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah Hasan al Basriy
(w. 110), Asy sya’biy (w. 104), Ibrahim an Nakhaiy (w. 96).
3. Membolehkan
dengan menekankan pemenuhan syarat
Bentuk
yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawassit) antara
bentuk yang mutasyaddid dan mutasahil. Supaya periwayat tidak
mengalami kesulitan dan merasakan keberatan dalam meriwayatkan hadis disebabkan
oleh sangat ketatnya aturan-aturan dan tidak terlalu sembrono dan lengah
disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada, maka gologan yang ketiga ini
memberikan solusi dengan mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
periwayat ketika meriwayatkannya secara makna.
Selanjutnya,
mereka menganggap bahwa ar riwayah bi al ma’na merupakan rukhsah
bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.
Al Mawardiy mengatakan bahwa ar riwayah bi al
ma’na di perbolehkan jika periwayat yang bersangkutan lupa lafalnya. Menurutnya
;
“Hadis itu mencakup lafal dan makna dan jika
tidak mampu menyampaikan salah satunya, hendaknya disampaikan dengan yang lain.
Dengan tidak menyampaikan apapun, seseorang dianggap menyembunyikan ilmu dan
hukum. Namun jika tidak lupa, maka tidak boleh menyampaikannya selain dengan
lafal yang didengar, karena kalam nabi mengandung fasahah, tidak seperti lainnya.”
[1] Teologi islam, Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan,
(Jakarta: VI-Press),
[2] Sejarah peradaban islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali
Press 2010), hlm. 05
[3] Ibid-, hlm. 37
[4] Di kutib dari Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, (Bandung;
CV Rusyda, 1987, cetakan pertama), hlm.62
Hermeneutika
A . Asal-usul dan Pengertian Hermeneutika
Sebelum kita mendefinisikan hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes[1]. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[2] Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.
Sosok Hermes Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Hermes adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia,[3] sedangkan Hermeneutika secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[4] Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[5] Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[6] Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[7]
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.[8]
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.” Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. [9]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
Sedangkan. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation)[10] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai:
1. Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis).
2. Hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3. Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4. Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften).
5. Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding).
6. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan.
B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika
B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika
Dalam sejarah perkembangan hermeneutika pada abad pertengahan. Hermeneutika dikatakan sebagai sebuah disiplin yang di perlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat ‘’perbedaan’’ pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah Eropa : Katolik sebagai pemegang status qou dan Protestanisme sebagai pembawa gerbong pembaharuan. Di wilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman Kristiani ‘’lahir’’, bahwa Bibel mestinya selalu ditafsirkan dan di jelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang terlatih dan punya otoritas sacral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang di gawangi oleh Martin Luther, menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala memang sama berbulu, namun pendapat tentang apa yang disebut Bibel ‘’boleh’’ saja berbeda-beda. Manusia yang punya Iman dan mau membaca kitab suci lah yang berhak menafsirkan kandungannya. Inilah pengertian sola scriptura.[11]
Dalam risalah De doctrina Christiana, karangan Santo Agustinus, mengemukakan konsep-konsep penting menyangkut hubungan antara bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dala tradisi Kristen. Konsep tersebut adalah actus signatus dan actus exercitus. Kedua konsep ini lahir dari dua macam ‘’kata’’ yakni antara kata yang di ucapkan dan kata yang ada dalam pikiran. Ketika seseorang mengucapkan sebuah kata, saat itu yang dilakukannya adalah member tanda (actus signatus) terhadap apa yang dia maksudkan dalam pikirannya, buah pikiran yang ada dalam pikirannya tersusun dalam bentuk kata-kata batiniah. Kata-kata batiniah ini bentuknya sangat abstrak dan hanya bias di pahami dalam konteks yang juga bersifat batiniah, ketika ingin di ungkapkan keluar melalui ucapan, ketika itu yang di pilih adalah kata jasmani dan tindakan itu disebut actus signatus. Bagaimana memilih kata-kata batin tadi kemudian mengungkapkannya inilah yang disebut Agustinus dengan actus exercitus. Diri sendiri berusaha melakukan semacam penafsiran terhadap kata-kata batin dan kemudian ‘’menerjemahkannya‘’ ke dalam kata jasmani. Begitu pula keaadaannya jika orang lain (pendengar) ingin mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh pembicara/penulis lewat sebuah kata yang di ucapkannya, maka dia harus berusaha sampai kepada bentuk kata-kata yang ada dalam pikirannya dengan melakukan actus exercitu.
A. Hubungan antara hermeneutika dengan ilmu filsafat Bahasa
Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra yang menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks karya sastra. Disamping hermeneutic harus bisa menyesuaikan diri dengan bahasa sebagai kupasan-kupasan linguistic, supaya tercipta aturan tatabahasa yang baik dan memudahkan langkah kerja hermeneutic dalam memberikan interpretasi dan pemahaman yang optimal terhadap tkes karya sastra.
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci). Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan. Pendekatan hermeneutic tidak mencari makna yang benar, melainkan mencari makna yang optimal. Dalam menginterpretasikannya, untuk menghindari keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas, pada umumnya dilakukan dengan gerak spiral. Penafsiran terjadi karena setiap objek memasang setiap horizon dan paradigma yang berbeda. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, menambah kualitas estetika, etika dan logika.
Metode penerapannya Menurut Paul Ricoeur perlu dilakukannya distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut:
a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
b. Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
e. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
f. Menurut Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Hermeneutik Salah satu bagian yang perlu lebih jauh dijelaskan dalam skema di atas adalah soal simbolisasi ujar Ricour. Teks, yang tidak lain adalah formulasi bahasa, adalah kumpulan penanda yang sangat kompleks. Saussure mendikotomikan bahasa sebagai penanda (citra akustis, bunyi) versus petanda (konsep). Bahasa adalah lambang yang paling kompleks dibandingkan dengan berbagai hal lain di masyarakat. Dalam kaitan dengan hermeneutika, Ricoeur kemudian menyebut metafora (pengalihan nama, perbandingan langsung, perlambangan) sebagai bagian penting untuk dibahas dalam hermeneutika. Pemahaman atas teks, menurut Ricoeur, niscaya akan berlanjut kepada pemahaman tentang metafora.
Plus minusnya. Kekurangan teori ini adalah objektifitas teori ini diragukan karena terjadi subjektifitas penafsir/interpreter. Maka peran interpreter sangat urgen sekali dalam memberi makna dan pemahaman terhadap teks, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Menurut Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Kelebihan teori ini ialah memberikan interpretasi terhadap kajian dalam teks sastra secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis).
[1][1] Di kutib oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer: di dalam literatur-litelatur pengantar hermeneutika yang banyak beredar, sering dinyatakan bahwa katahermeneutika berkaitan dengan kata ‘’Hermes’’ nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam. Namun, sejauh pelacakan P. Chantraine, pengarang kamus Dictionnaire etymologique de la langue grecque, nama Hermes ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan seni (ermeneutike). Lihat Jean Grondin, Sources of Hermeneutics (New York: SUNY Press 1995), hlm. 21 (catatan kaki no. 8)
[3] Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Ibid
[4] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14
[7] Ibid
[8] Lihat ibid., h. 15-16.
[9]Http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.
[10] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.,
[11] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA Cet. II , November 2010, hlm. 67
Langganan:
Postingan (Atom)